<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Anggaran Berbasis Kinerja (ABK): Sebuah Harapan Menuju Perbaikan

Jan 24, 2012 0 comments

[token: 2ADXN5SR6TUA]

Proses penyusunan APBD saat ini lebih sering dikenal dengan istilah Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Dasar kebijakannya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kepmen tersebut direvisi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. ABK adalah proses penyusunan APBD yang diberlakukan dengan harapan dapat mendorong proses tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Penerapannya diharapkan akan membuat proses pembangunan menjadi lebih efsien dan partisipatif, karena melibatkan pengambil kebijakan, pelaksana kegiatan, bahkan dalam tahap tertentu juga melibatkan warga masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Melalui ABK keterkaitan antara nilai uang dan hasil dapat diidentifkasi, sehingga program dapat dijalankan secara efektif. Dengan demikian, jika ada perbedaan antara rencana dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan output dan outcome untuk menentukan efektivitas dan efsiensi pelaksanaan program.

Secara ringkas, ada tiga tahap penting dalam penyusunan APBD, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Pertama, tahap perencanaan, dengan Bappeda sebagai koordinator. Kedua, tahap penganggaran, yang dikoordinasikan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ketiga, tahap legislasi/pengesahan, dikoordinasikan oleh TAPD dengan Tim Anggaran DPRD. Penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten.

Gambar 2.1. Skema Proses Penyusunan APBD Selama Satu Tahun Anggaran

Januari-April Mei-Agustus Sept-Des
PERENCANAAN PENGANGGARAN PENGESAHAN
Masing-masing SKPD merancang RKA dan dikonsultasikan dengan BAPPEDA TAPD menyusun PPA dan dikonsultasikan serta dibahas bersama DPRD Bupati/Walikota (beserta jajaran) menyusun Ranperda APBD, dan dibahas bersama DPRD


Hasil Musrenbang menjadi salah satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim asistensi Bappeda.

Dokumen RASK kemudian dibahas oleh Tim Asistensi Eksekutif, yang terdiri atas Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah. Hasilnya dituangkan dalam dokumen Rancangan APBD (RAPBD). RAPBD dibahas oleh DPRD untuk disetujui serta dievaluasi oleh pemerintah Provinsi. Setelah pemerintah provinsi memberikan persetujuannya, RAPBD kemudian disahkan oleh DPRD menjadi APBD.
Penjabarannya kemudian disusun dalam dokumen yang disebut Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) untuk APBD tahun berjalan. Proses penganggaran berbasis kinerja sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Permendagri 9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Di dalam P5D, Bappeda berperan dalam menyusun Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) yang pada akhirnya menjadi APBD, sedangkan dalam sistem ABK perencanaan pembangunan dibuat oleh setiap SKPD dengan diasistensi oleh Bappeda. Selain itu, pada P5D perencanaan pembangunan masih belum terintegrasi secara menyeluruh dengan proses penganggaran. Kegiatan REPETADA pada tingkat Kabupaten/Kota meliputi: Musbangdes, Temukarya LKMD/diskusi UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan) di tingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Daerah Tingkat II, Perumusan dan Penyusunan Daftar Usulan proyek (DUP) oleh dinas/instansi, Rakorbang daerah tingkat I, Penyusunan dan penetapan rancangan APBD, Penyusunan Lembaran Kerja (LK), DIPDA (Daftar Isian Proyek Daerah) dan Petunjuk Operasional (PO) serta monitoring dan evaluasi.

Pemerintah kabupaten - dalam hal ini Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) menganggap ABK adalah sesuatu yang akan berdampak baik khususnya di dalam mengarahkan perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek yang lebih sinergis dan terintegrasi dengan penganggarannya. Melalui proses ini, SKPD diharuskan membuat suatu program yang terukur baik input, output maupun outcomenya jika ingin mendapatkan kucuran dana untuk program-program yang diajukan. Di samping itu, dana-dana yang dikeluarkan melalui APBD tiap tahunnya bisa digunakan secara efsien, efektif dan tepat sasaran.

Dengan penganggaran berbasis kinerja dan proses yang lebih partisipatif diharapkan dapat memperbaiki tata kelola pemerintahan, meningkatkan efektivitas pembangunan dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.

Muyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)
Tahap penting dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten. Hasil Musrenbang menjadi salah satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim asistensi Bappeda.

Proses penyerapan aspirasi melalui Musrenbang tidak dilakukan oleh setiap instansi pemerintah secara terpisah, tetapi melalui perwakilan dari setiap SKPD yang hadir dalam forum musyawarah. Di satu sisi, proses penyerapan tersebut lebih praktis dan berpeluang menangkap program atau isu yang sifatnya lintas SKPD. Di sisi lain, aspirasi yang disampaikan menjadi kurang fokus pada suatu sektor tertentu, sehingga mempersulit masing-masing SKPD untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat, sehingga usulan masyarakat yang sering terungkap lebih banyak berupa permintaan atas pembangunan prasarana fisik alih-alih pengelolaan hutan secara lestari. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana memastikan bahwa aspirasi yang tertampung tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.

Penggalian aspirasi melalui Musrenbang seringkali belum dibarengi dengan data mengenai kondisi terkini yang dapat diandalkan. Padahal ketiadaan data yang terpercaya dan lengkap dapat menghambat proses penyusunan ABK, mengingat data yang lengkap dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk melakukan pengukuran kinerja.

Walaupun bukan satu-satunya sumber acuan (karena masih ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, RPJMD dan Rencana strategis, Restra), seharusnya Musrenbang menjadi bahan masukan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang selanjutnya dipedomani dalam penyusunan RAPBD. Namun dalam kenyataannya, hasil Musrenbang belum sepenuhnya menjadi acuan penyusunan program dan anggaran, dan aspirasi yang terkumpul hanya dituangkan dalam sebuah laporan yang disimpan untuk acuan di waktu yang akan datang. Hal ini karena terbatasnya waktu dan pengetahuan untuk memahami aturan ABK dan mengolah aspirasi masyarakat yang sifatnya cenderung umum.

Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang dipresentasikan setiap tahun oleh eksekutif, memberi informasi rinci kepada DPR/DPRD dan masyarakat tentang program-program apa yang direncanakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, dan bagaimana program-program tersebut dibiayai. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran tahunan merupakan rangkaian proses anggaran. Proses penyusunan anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu: 1) Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan koordinasi antarbagian dalam lingkungan pemerintah; 2) Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan; 3) Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja; 4) Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR/DPRD dan masyarakat luas.

Faktor dominan yang terdapat dalam proses penganggaran adalah: 1) Tujuan dan target yang hendak dicapai; 2) Ketersediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimiliki pemerintah); 3) Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target; 4) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti: munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar, perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya.

Pengelolaan keuangan publik melibatkan beberapa aspek, yaitu aspek penganggaran, aspek akuntansi, aspek pengendalian, dan aspek auditing. Aspek penganggaran mengantisipasi pendapatan dan belanja (revenues and expenditures), sedangkan aspek akuntansi terkait dengan proses mencatat, mengolah, dan melaporkan segala aktivitas penerimaan dan pengeluaran (receipts and disbursments) atas dana pada saat anggaran dilaksanakan. Kedua aspek tersebut dianggap penting dalam manajemen keuangan publik. Namun, di antara kedua aspek tersebut aspek penganggaran dianggap sebagai isu sentral bila dipandang dari sisi waktu. Kalau aspek akuntansi lebih bersifat “retrospective” (pencatatan masa lalu), maka aspek penganggaran lebih bersifat “prospective” atau “anticipatory” (perencanaan masa yang akan datang). Karena aspek penganggaran dianggap sebagai isu sentral, maka para manajer publik perlu mengetahui prinsip-prinsip pokok yang ada pada siklus anggaran.

Gambar 2.2. Proses Penyusunan APBD Bentuk Penganggaran Sektor Publik



Claim Token: 2ADXN5SR6TUA

Principal - Agent Theory Dalam Proses Perencanaan Anggaran Publik

Jan 23, 2012 4 comments

Permasalahan Principal - Agent Theory dalam proses penganggaran terkait dengan fenomena budgetary slack, yang sering diistilahkan juga sebagai padding the budget (Hilton, 1994). Budgetary slack adalah suatu kecenderungan yang dilakukan oleh manajer agen pada saat diberi kesempatan berpartisipasi menyusun anggaran, akan melakukan underestimate revenue atau overestimate expenditure.

Hal ini dilakukan karena anggaran digunakan sebagai dasar penilaian kinerja manajer agen sehingga untuk memudahkan tingkat pencapaiannya mereka akan melakukan Budgetary slack. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap berbagai penelitian sebelumnya, disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu faktor environmental, organisasional dan individual. Faktor environmental terdiri dari kondisi ekonomi, politik (Mayper et al., 1991), teknologi (Merchant, 1985), uncertainty environment (L,eavins et al., 1995, Darlis, 2001), social pressure (Stevens, 1996,2000). Faktor organisasional terdiri dari tingkat desentralisasi (Leavins, et al., i99-5), reward system (Govindrajan, 19$6 ; Chow et al., 1988), budaya (Henrika & Mardiasmo, 2002), pantisipasi (Young, 1985 ; Govindraian, 1986 ; Dunk, 1993 ; Leavins et al., 1995), budget pressure (Leavins et al., 1995), budget attainability (Moore et al. 2000), information asymetri (Young, 1985 ; Dunk, 1993 ; Dunk & Perera, 1997 ; Moore et al., 2000 ; Douglas & Wier, 2000 ; Henrika & Mardiasmo, 2002) dan, organizational commitment (Darlis, 2001 ; Henrika & Mardiasmo, 2002). Faktor individual antara lain etika, moral (Stevens, 1996 ; Douglas & 'Xier, 2000 ; Blanchette et al., 2002).

Sebaliknya dari sisi prinsipal, seperti yang diungkapkan Jensen dan Meckling untuk mencegah moral hazard agen hendaknya diberlakukan sistem kontrol yang ketat. Didukung temuan Lau (1997) yang menunjukkan bahwa sistem akuntansi berpengaruh negatif terhadap Budgetary slack.

Penelitian Budgetary slack pada organisasi sektor publik tidak sesemarak pada organisasi sektor swasta. Beberapa peneliti yang telah meiakukan antara lain Mayper et al. (1991) ; Moore et al. (2000) ; Mardiasmo (2001) ; Henrika dan Mardiasmo (2002). Karakteristik penganggaran publik yang berbeda dengan karakteristik penganggaran sektor swasta bukan tidak mungkin menjadi salah satu penyebab. Kompleksitas penganggaran publik yang melibatkan berbagai konstituen dengan kepentingan berbeda membutuhkan analisis Principal - Agent Theory yang lebih seksama. Disamping itu penanggungjawab/pembuat anggaran publik yang bervariasi menurut variasi juridiksi masing-masing daerah bisa menjadi penyebab pula. Lee dan Johnson (1998), menyatakan bahwa pada daerah yang juridiksinya lemah, dimana ekskutif dalam hal ini mayor atau walikota adalah lemah, maka line agency (misal Kepala Dinas) dapat langsung mengajukan permintaan anggaran kepada legislatif.

Penerapan Principal - Agent Theory dalam proses penganggaran sektor publik berbeda dengan sektor swasta. Pada sektor swasta diterapkan konsep Principal - Agent Theory tradisional dengan one agen-one principal. Pada organisasi sektor publik dimana terjadi pola hubungan yang lebih rumit dan kompleks maka Principal - Agent Theory tidak dapat digunakan. Pada sektor publik, khususnya dalam proses pembuatan anggaran, maka anggaran merupakan hasil kerjasama dua pihak yaitu legislastif dan ekskutif yang dalam kerangka demokrasi ditujukan untuk kepentingan rakyat. Jadi ada tiga faktor yaitu legislatif, ekskutif dan rakyat.

Bream et al. (2002), menyatakan bahwa hubungan, principal-agent adalah serangkaian hubungan serial yang kompleks dan melibatkan berbagai elemen pemerintah yang berbeda, yang dapat berfungsi balk sebagai prinsipal maupun agen secara bersama. Breaux menggunakan principal agent dalam kasus penilaian privatisasi. Breaux membuktikan bahwa Principal-Agent Theory tradisional tidak mampu menjelaskan kompleksitas hubungan antar konstituen sektor publik khususnya pada pemerintah demokrasi.

Greenberg (1996) dalam Darsono (2001), membahas Principal - Agent Theory sektor publik dan menghubungkannya dengan pencurian atau korupsi. la berpendapat bahwa korupsi dilakukan secara hirarkis. Hal ini bisa terjadi karena korupsi dilakukan dengan memanfaatkan asymmetry information (Darsono, 2001). Koruptor memiliki superior information dibandingkan pihak lainnya. Superior dalam hal pengetahuan, pengalaman, kemarnpuan negosiasi, kekuatan organisasi dan sebagainya (Wood, 1994 dalam Darsono, 2001).

Proses Penganggaran Daerah di Indonesia dalam Konteks Principal Agent Theory
Scarpello dan Jones (1996) sebagaimana dikutip dalam Darsono (2001) menyatakan bahwa hubungan prinsipal-agen bersifat hirarkis. Pada tingkat manajemen di bawahnya terjadi hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipalnya adalah manajer puncak sedangkan agennya adalah manajer menengah. Hal inipun berlaku pada penganggaran sektor publik.

Rantai hubungan penganggaran daerah dapat ditunjukkan dalam konteks Principal - Agent Theory dengan mengacu pada pendapat Moe (1984) dalam (2001). Moe menggunakan unit analisis negara, dengan 5 rantai yaitu:
  1. voters-legislature,
  2. legislature-government,
  3. ministry of finance-spending agency,
  4. minister-bureaucrats,
  5. senior bureaucratst down to service provider.

Rantai 4 dan 5 tidak terjadi pada proses penganggaran daerah. Rantai pembuatan anggaran sektor publik yang berjenjang ini membuat adanya perangkapan peran. Sebagai contoh adalah legislatif, dalam rantai pertama legislatif berperan sebagai agen, namun sebaliknya pada rantai kedua legislatif berperan sebagai prinsipal.

Pada pemerintahan yang menganut azas demokrasi maka prinsipal utama adalah rakyat. Legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat, keberadaannya dimungkinkan karena rakyat (voters) telah memilihnya. Dengan demikian berdasarkan hubungan prinsipal - agen, maka legislatif memiliki peran sebagai agen yang terikat kontrak untuk mewakili kepentingan rakyat sebagai prinsipal.

Peran Rakyat (voters) Sebagai Prinsipal
DPRD merupakan perwakilan rakyat sehingga DPRD harus bertanggung jawab pada prinsipal utama sektor publik yaitu rakyat. Masalahnya adalah bahwa demokrasi ditakdirkan untuk bersifat illusive dan imposible. Bersifat illusive sebab elit sebenarnya hanya bertanggungjawab diantara mereka sendiri, tidak pernah langsung ke rakyat. Bersifat imposible sebab elit, sekali terpilih mewakili rakyat melalui pemilu, dapat dengan mudah mengatasnamakan kepentingan pribadi (personal interest) sebagai kehendak rakvat (the will of the peoule) (Plamenatz, 1996 dalam Syamsudin, 2001).

Inilah permasalahan utama dalam hubungan voters dan legislatif, dengan kewenangan DPRD yang semakin besar akibat UU 22/1999 belum ada sistem kontrol yang jelas dalam mekanisme pengaturan yang resmi untuk melakukan pengawasan terhadap DPRD (Yudoyono, 2002). Beberapa jawaban selama ini mengatakan bahwa yang mengawasi DPRD adalah rakyat. Jika ada anggota DPRD yang melakukan penyimpangan, pelanggaran dan berperilaku menyimpang maka rakyat yang akan menegur dan menghukum.

social pressure adalah cara yang dapat dilakukan rakyat melalui peran berbagai parliament watch, media dan bahkan aksi langsung dengan kekuatan massa melalui berbagai demonstrasi. Sejak reformasi, banyak bermunculan NGO yang memiliki visi melakukan pengawasan balk terhadap legislatif maupun ekskutif. Di tingkat pusat terdapat ICW, di daerah juga muncul NGO dengan visi serupa, misalnya di Bandung terdapat BIGS (Bandung Institute of Governance), di Surabaya terdapat KPKD (Konsorsium Pemantau Kinerja Dewan), di Jombang ada ICDHRE. Banyak cara yang dilakukan lembaga ini antara lain berperan aktif dengan melakukan monitoring dan edukasi untuk masyarakat melalui debat publik, atau bahkan membuka situs sendiri di internet, seperti yang dilakukan ICDHRE. social pressure juga dapat dilakukan melalui peran media, yang di masa reformasi ini media memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan pada era orde baru.

Peran Legislatif Sebagai Agen
Dalam proses penganggaran publik, legislatif memiliki peran yang sangat penting. Di Indonesia, UU 22/1999 mengatur peran legislatif dalam penyusunan anggaran, dimana dalam pasal 18 ayat e dinyatakan bahwa DPRD bersama-sama dengan Gubernur, Bupati/Walikota menetapkan APBD. Peran legislatif semakin krusial, karena dalam tahap ratifikasi memiliki peran sebagai pihak yang berwenang mengesahkan APBD. Oleh karena itu dalam paradigma baru penganggaran publik penting bagi DPRD untuk mendengarkan aspirasi rakyat melalui hearing dengan berbagai komponen yang mewakili rakyat seperti LSM, Perguruan Tinggi, kuesioner, kotak pos, media massa dan lain-lain.

Di sisi lain, menguatnya peran legislatif di masa reformasi, sifat demokrasi yang illusive dan imposible dan tidak adanya pengaturan pengawasan formal terhadap DPRD menyebabkan meningkatnya dysfunctional behavior. Berita miring tentang besarnya gaji dan fasilitas anggota DPRD; kasus korupsi DPRD banyak muncul di berbagai media. DPRD seringkali dituduh tidak mementingkan aspirasi rakyat tapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tim peneliti CSIS (2001) menemukan bahwa pada lingkungan DPRD, kebanyakan cenderung menjadi birokratis, dalam pengertian fungsi keanggotaan dan kepemimpinan dalam institusi ini dianggap sebagai jabatan, dan yang bahkan harus bersifat hirarkis. Akibatnya, tuntutan-tuntutan untuk memenuhi kebutuhan anggota dan pimpinan DPRD lebih menjadi perhatian daripada kepentingan dan aspirasi masyarakat dan daerah setempat.

Peran Legislatif Sebagai Prinsipal
DPRD adalah pengemban fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan di daerah. Pasal 18 UU no.22 Tahun 1999 mengatur pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Perda, Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota, pelaksanaan APBD, pelaksanaan kebijakan daerah dan pelaksanaan kerjasama internasional di daerah.

Pengawasan DPRD berada pada dimensi politik bukan dimensi administrasi yang dilakukan pengawas fungsional (Yudoyono, 2002). Tugas pengawasan DPP.D lebih ditekankan pada segi hubungan antara penggunaan kekuasaan ekskutif dengan kondisi kehidupan rakyat di daerah, apakah rakyat telah memperoleh pelayanan semestinya. Pengawasan pada dimensi administrasi dilakukar. oleh lembaga pengawas fungsional seperti BPK, BPKP, Bawaskot, Bawasda.

Mardiasmo (2001) membedakan istilah pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Pengawasan mengacu pada suatu bentuk monitoring yang dilakukan oleh pihak di luar ekskutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat). Pengendalian merupakan internal control yang berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) untuk menjamin bahwa strategi dijalankan secara baik sehingga tujuan organisasi dapat dicapai, sedangkan pemeriksaan dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja yang telah dicapai ekskutif sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Perubahan mendasar akibat PP 105%2000 yang mensyaratkan penggunaan anggaran kinerja dan perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah dari single entry system menjadi double entry system, dan keharusan untuk melaporkan pertanggungjawaban APBD dalam bentuk laporan keuangan yang terdiri dari laporan perhitungan APBD, Nota perhitungan APBD, Laporan Arus kas dan Neraca daerah yang dilengkapi penilaian kinerja berdasarkan tolok ukur Renstra pada dasarnya merupakan upaya rneningkatkan sistem kontrol yang lebih memadai. Dengan Demikian diharapkan tuntutan masyarakat akan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah dapat dipenuhi.

Peran Eksekutif Sebagai Agen
Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif di daerah pada hakekatnya berkewajiban atas terse lenggaranya pemerintahan. Tugas utama eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan pada dasarnya bertujuan untuk memaksimalkan kepuasan rakyat sebagai prinsipal utama sektor publik. Kebijakan yang dibuat harus be-rorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan yang berorientasi pada rakyat secara kuantitatif dapat dianalisis melalui perbandingan besarnya belanja rutin dan belanja pembangunan pada APBD. Hakim (2003) menyatakan bahwa kebanyakan daerah di Indonesia komposisi belanja rutin yang diinterpretasikan untuk kepentingan eksekutif jumlahnya rata -rata jauh lebih besar daripada belanja pembangunan yang pada hakekatnya merupakan hasil riii yang dinikmati rakyat, hanya sekitar 30%. Hal ini mencerminkan bahwa ekskutif masih dirasakan lebih mementingkan kepentingannya sendini.

Kinerja Kepala Daerah akan dinilai dalam Iaporan pertangungjawabannya kepada DPRD tentang keberhasilan berbagai program dan kebijakannya yang nampak pada realisasi APBD. Jadi sebagai agen, Kepala Daerah pun memiliki kepentingan terhadap APBD. Menurut Nouri (1994), agen yang penilaian kinerjanya ditentukan oleh berhasil tidaknya anggaran pada saat diberi kesempatan menyusun anggaran akan cenderung melakukan Budgetary slack. Mardiasmo (2001) menyatakan beberapa alasan pemerintah lokal yang memotivasi mereka menciptakan slack positif antara lain karena hal ini akan membuat mereka menjadi "a hero", dianggap generous dan understanding. Alasan politis juga dikemukakan yaitu untuk menjalin hubungan yang balk antara DPRD, Kepala Daerah dan Komite Anggaran.

Peran Kepala Daerah Sebagai Prinsipal
Peran prinsipal dalam Principal - Agent Theory pada hakekatnya berorientasi pada penerapan sistem kontrol yang baik dalam upaya mengendalikan agen sebagai manajer bawahan yang karena asimetri informasi yang dimiliknya dan keinginannya untuk memaksimalisasi utilitinya cenderung berperilaku disfungsional dapat dikurangi.

Kepala Daerah adalah Kepala Eksekutif di daerah sehingga perannya sebagai prinsipal yang berkepentingan dengan penerapan sistem kontrol sama dengan peran prinsipal pada rantai sebelurnnya. Dengan demikian Kepala Daerah sebagai prinsipal dituntut pula untuk memberi dukungan terhadap keberhasilan reformasi penganggaran, keuangan dan sistem akuntansi daerah.

Peran Middle Manager (Kepala Dinas,Kabag, Kasubag) Sektor Publik ke bawah Sebagai Agen
Dalam struktur organisasi pemerintah daerah middle manager termasuk sebagai perangkat daerah, misalnya Dinas dan lembaga Teknis Daerah (Kantor dan Badan). Hubungan antara middle manager ini dengan anggaran sangat erat. Hal ini dikarenakan mereka adalah para manajer operasional yang bertanggungjawab terhadap pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka menggunakan anggaran sebagai pedoman perencanaan dan pengendalian.

Dalam proses perencanaan anggaran mereka mengajukan Daftar Usulan Kegiatan Daerah maupun Draft Usulan Proyek Daerah sebagai dokumen usulan kegiatan suatu tahun anggaran tertentu. Kinerja mereka pun sering diukur berdasarkan tingkat pencapaian anggaran yang berhasil direalisasikannya. Dalam konteks ini perilaku manajer sektor publik agaknya identik dengan manajer sektor swasta dalam mengalokasikan sumberdayanya. Moore et al. (2000) dalam studinya mengenai manajer municipal di Amerika, menemukan bukti empiris yang sejalan dengan banyak temuan pada manajer di sektor swasta bahwa budget attainability, tight budget berhubungan dengan Budgetary slack.

Mardiasmo (2001) menemukan juga bahwa manajer publik cenderung menciptakan slack positif. Alasannya, dengan slack positif akan memperbaiki hubungannya dengan Kepala Daerah dan hal ini akan menyebabkan adanya a good job security.

Kenis (1979) dengan menggunakan goal theory meneliti pengaruh dimensi-dimensi anggaran terhadap sikap dan kinerja manajerial. goal theory tersebut dikembangkan oleh Edwin A. Locke (1968). Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seorang ditentukan oleh dua buah cognition yaitu content (values) dan intentions (tujuan). Orang telah menentukan goal tersebut dan akan mempengaruhi perilaku yang sesungguhnya terjadi. Perilakunya akan diatur oleh ide (pemikiran) dan niatnya sehingga akan mempengaruhi tindakan dan konsekuensi kinerjanya.

Factors Influencing Environmental Accounting Information System Design

Jan 21, 2012 1 comments

An entity's environmental strategy indicates both the entity's dedication and motivation to incorporate environmental stewardship in its daily activities; this may affect both external and internal reporting demands of an environmental accounting information system. A firm only interested in legitimizing its actions to society or appeasing its stakeholders (Islam and Deegan, 2008) may outfit their information system differently than a firm that finds it economically beneficial to aggressively pursue an environmental stewardship strategy (Clarkson et.al., 2008). Also, governmental and not-for-profit entities may have different considerations from for-profit firms when developing their environmental strategies since no profit motive exists (Ball, 2005; Herbohn, 2005). Even within governmental agencies, strategies will vary depending on whether an objective relates to environmental stewardship of the agency's actions or establishment and enforcement of environmental regulations (Cormier et.al., 2004) for a model on corporate environmental reporting, which considers company management assessments of stakeholder influences on a company's environmentally related actions).

Stakeholders' power (or lack thereof) to influence an entity's actions can impact the entity's environmental objectives and strategies (Aerts and Cormier, 2009; Darnell et.al., 2009; Magness, 2006; Neu et.al., 1998). Communications from an entity's management concerning environmental issues may positively or negatively impact the development of a system, as noted in a number of case studies (Ball, 2005; Dey, 2007; Herbohn, 2005). Thus, an entity's strategy towards environmental stewardship will impact the environmental accounting information system developed, and the types and level of management communications on environmental issues moderate this effect.

Experimental methods can contribute to the literature by focusing on these factors in ways that extend the archival and case study findings. Specifically, the reported associations within these studies can be extended with experiments to better understand why the associations exist. Environmental strategies can be manipulated in a laboratory setting (e.g. stakeholder appeasement strategies, pro-environmental versus pro-economic strategies, etc.) to help determine which entity strategies result in certain manager decisions that influence the ways that environmental data are implemented into an accounting information system. Stakeholder influences can be manipulated (e.g. strong external pressures, weak interactions with the entity, etc.) and studied to observe how decision makers respond to these pressures when forming the entity's environmental strategy. The model suggests that the environmental strategy employed determines the way in which an entity's environmental information system is implemented.

Environmental accounting information systems
After considering how stakeholder influences and an entity's environmental strategy molds the implementation of an environmental information system, the model emphasizes considering data organization and data quality in designing experiments on environmental accounting information systems. Relative to traditional accounting information, environmental accounting information comprises lower levels of user familiarity (Gray and Bebbington, 2001), which may hinder effective processing of this non-traditional data. This unfamiliarity may very well be contributing to the resistance organizations experience when an environmental accounting initiative struggles to make progress (Ball, 2005; Dey, 2007; Herbohn, 2005).

Experiments can explore any potential underlying psychological mechanisms that may contribute to organizational resistance (Ball, 2005) or cognitive difficulties (Kaplan and Wisner, 2009) associated with effectively using environmental data. The current literature is mainly silent on providing these types of explanation; experiments have the potential to extend the literature by determining why certain behaviors and decisions are observed.

To provide an example of psychological factors that may be important to explore in an environmental accounting context yet does not receive much attention in the extant literature, consider the following about the nature of environmental data. The organizational display of environmental data, and their combination with non-environmental metrics, warrants a particular and unique concern to decisions involving environmental information because of the unfamiliarity and potential complexity of this non-traditional data. Different types of data organization and different levels of data quality are well-known factors that impact the cognitive processing of information (Schkade and Kleinmuntz, 1994), so it is important to understand these cognitive influences on the capturing and presentation of environmental data in the implementation of accounting information systems. A better understanding of why behaviors and decisions occur would be helpful in determining how to mitigate factors such as cognitive biases in the processing of environmental information. Data organization and data quality are further explored below.

Data organization
The organization component of displayed data relates to the data visual structure (Schkade and Kleinmuntz, 1994). For example, a traditional way to organize a balanced scorecard's data is to classify and present the data in four perspectives (financial, customers, internal business processes, and learning and growth). When new data are considered to be included in the scorecard, there is debate on whether the new data organization should result in a new, fifth perspective, or whether the data should be embedded within the traditional perspectives. In Kaplan and Wisner's (2009) study, these "new data" are environmental metrics. In their experimental design, the data organization's manipulation includes a four-perspective scorecard in which environmental data embed within the traditional four perspectives, or a five-perspective scorecard in which a standalone fifth perspective isolates and groups environmental data together.

Another way to analyze data organization in an evaluative context includes considering its evaluation mode. In separate evaluation (SE) mode, alternatives are presented and evaluated sequentially. In joint evaluation (JE) mode, alternatives are presented and evaluated jointly (Fischhoff et.al., 1980). For example, assume a manager must analyze evaluations from three employees who are competing for the same promotion within the firm. If the employee analyzes the candidates for promotion in SE mode, then the manager will analyze each candidate's information one at a time. She will finish analyzing the first candidate before moving on to evaluate the second candidate. However, if the manager evaluates the candidates in JE mode, then she will analyze the candidates' information together and at the same time. When alternatives are analyzed in JE mode, direct comparisons can be made between the alternatives (and thus establish a reference point) that are not available for evaluations made in SE mode.

Environmental Disclosures and Economic Performance

Jan 20, 2012 0 comments

A second general category of archival research explores the relationships between environmental disclosures, environmental performance, and/or financial performance. Overall, the results vary in the direction and magnitude of these associations. Li et.al. (1997) find increased disclosures of environmental information when firms are more likely to pollute, when stakeholders become more aware of the firms' environmental liabilities, and when threats to obtaining regulatory costs decline. Cho et.al. (2006) find that companies with higher political lobbying efforts have increased environmental disclosures and lower environmental performances, suggesting a management strategy to influence environmental regulatory procedures. Patten (2002) finds a negative correlation between environmental disclosures and environmental performance, and the correlation is more pronounced among firms in non-ESIs. Social and political pressures may explain the negative correlation. Bad environmental performance leads to pressure to disclose, and ESIs are not affected as much by this pressure because they already receive more scrutiny.

Sociopolitical pressures may also help explain findings of negative correlations between environmental footnote disclosures and both American firms' level of business outside of the USA (fear of being perceived as a polluter) and firms' earnings volatility (fear of bad news exasperating low-earnings periods; Karim et.al., 2006). Cho et.al. (2010) find a similar usage of disclosures when considering the language of US annual reports; the worse the corporate environmental performance, the more optimistic and vague the environmental disclosure language in the entity's annual report.

Al-Tuwaijri et.al. (2004) find different results from Patten (2002) when they consider endogeneity among environmental performance, financial performance, and environmental disclosures. They find positive links, suggesting that environmental stewardship and economic success do not have to be adversarial objectives (see Frooman (1997) and Orlitzky et.al. (2003) for meta-analysis providing general support for a positive relationship between corporate socially responsible behavior and financial performance). Ruf et.al. (2001) use stakeholder theory to explain a broader positive link between corporate social performance and financial performance, suggesting that firms better serve their shareholders when they address other stakeholder concerns. Indeed, environmental disclosures on company web sites suggest that companies perceive environmental issues as a competitive advantage instead of a regulatory burden (Jose and Lee, 2007). In contrast to the above results, Murray et.al. (2006) find no relation between UK companies' stock returns and their environmental and social disclosures. However, there was a positive relationship between a company's level of disclosures and the consistency of their financial returns (i.e. high disclosure levels correlated with consistently high returns, and vice versa).

In another study on market reactions, Blacconiere and Northcut (1997) show that the market-valued environmental disclosure information surrounding US environmental regulations in 1986 (the Superfund Amendments and Reauthorization Act). Specifically, chemical companies with pre-1986 environmental disclosures received better market reactions compared to companies with environmental cost information disclosed by the EPA relating to the legislation and indicating greater environmental cost risks. Investors seem to view corporate disclosures as an indicator of the company adequately mitigating environmental cost risks such as regulatory burdens. This finding supports Blacconiere and Patten's (1994) earlier analysis of a different critical event - the 1984 Union Carbide chemical leak incident in Bhopal, India. In this study, investors also appeared to respond more favorably (i.e. not as negatively) to chemical companies that disclosed environmental information more thoroughly before the incident occurred. Magness (2010) echoes this favorable response to prior environmental disclosures in a study on investor reactions to an accident in the Canadian mining industry. In this study, investors react particularly favorable (i.e. moderate negative reactions) to companies disclosing that they have upper level company involvement in environmental issues. In a sample of pulp and paper companies, Clarkson et.al. (2004) show that environmental capital expenditures yield gains for low-polluting companies, but not their high-polluting counterparts. Also, investors utilize data on companies' environmental performances to assess future environmental liabilities that are yet to be recognized.

Clarkson et.al. (2008) attempt to resolve tension in the different frameworks used to explain the link between environmental disclosures and environmental performance. Specifically, they conclude that US companies involved in ESIs have a positive relationship between voluntary environmental disclosures and environmental performance. These findings support economic theories of discretionary disclosure and not social-political frameworks such as legitimacy theory. However, for companies experiencing pressure for better environmental performance by external stakeholders, the social-political frameworks do provide a structure for predicting disclosures of environmental information when the company has not made a hard commitment to disclose the information.

Overall, archival environmental accounting studies have tested, with much success, the legitimacy framework's ability to support the pattern of environmental disclosures observed among companies. One consequence of the evidence supporting legitimacy theory results in the possibility that firms disclose environmental information simply to gain permission from society to operate. Thus, if society is appeased by only a firm's level of information disclosure (i.e. words but not necessarily action), then improved environmental performance cannot be a guaranteed outcome. This may explain the studies that found no association (Walden and Stagliano, 2003) or failed to find a positive (Patten, 2002) correlation between environmental disclosures and environmental performance. However, other studies reviewed find a positive relationship between disclosure and performance (both environmental and financial), which would support more economic-based disclosure paradigms (i.e. firms disclose because they can back up their information claims, thus it is their competitive advantage to disclose) compared to socio-political frameworks such as legitimacy theory (Clarkson et.al., 2008). Model miss-specification, e.g. not considering endogeneity among the variables, may be driving these conflicting results (Al-Tuwaijri et.al., 2004), so this debate would benefit from more research.

Advantages of archival research methods include analyzing data from a broad portion of the test population, so results can be fairly generalized to the whole population. Since financial data usually captures consistent and high-quality information, archival methods are a good approach to addressing financial environmental accounting inquiries. However, an archival study can only suggest correlations between two variables because the variables are not manipulated and isolated (i.e. "turning one dial at a time") (Shadish et.al., 2002). Thus, the archival method cannot show causation as well as why an association between variables exists.

Kehidupan Baru

Jan 17, 2012 0 comments
Hiduplah seperti Ibrahim, raja yang meninggalkan takhta kerajaannya, lalu pergi menuju kerajaan lain. Ibrahim (Tahun 783) Pangeran Balkh, merupakan salah satu orang yang meninggalkan kerajaan eksternalnya demi kerajaan internal karena demi suatu penglihatan ilahi. Dia menjadi seorang sufi.

Pada suatu malam, saat beliau tidur, terdengar bunyi langkah kaki di atap rumahnya. Beliau pun berteriak, “Hei, siapa di atas?” Sekelompok makhluk mengagumkan tunduk menampakkah diri, dengan memperlihatkan kepalanya di ujung atap. “Oh ya, kami sedang mencari unta di atap ini!”

“Hah, siapa yang pernah menceritakan kepadamu bahwa seekor unta bisa berada di atap rumah ini?”

“Benar! Tetapi siapa juga yang pernah menceritakan bahwa orang bisa lebur menyatu dengan Tuhannya, sementara ia terus menjadi kepala negara (penguasa)?”
Itulah kejadian yang telah merubah hidup Ibrahim secara keseluruhan. Dia kini telah pergi, hilang musnah entah kemana.

Jenggot panjang dan jubahnya masih tersisa, namun diri sejatinya telah menjadi sufi yang larut musnah dalam ekstase sebuah perenungan diri di Gunung Qaf. Semua orang masih terus menyanjung-nyanjung apa yang telah dilakukan Ibrahim. Memang, dunia ini selalu saja bangga dengan perubahan total mendadak yang terjadi dalam diri orang tertentu. Diantara orang-orang, banyak yang mengenangnya kembali.

Jika engkau bukan salah satu dari orang-orang tersebut, bukalah dirimu terhadap para alkimis yang selalu berada di sekitar kita agar mereka mengubah hidupmu menjadi salah satu diantaranya. Setiap malam mereka menjamah kita dengan cara-cara yang berbeda. Tumbuhan baru tumbuh dan berkembang dalam kesadaran!

Ibrahim salah satu diantara orang yang berhasil memimpikan realitas sejati itu. Hal itu telah membebaskan dirinya secara total. Realitas beliau yang sesungguhnya adalah kebijakannya dalam pengambilan keputusan. Beliau sangat suka mendengar alunan musik, kidung nyanyian, untaian biola kuno, deru bunyi drum, alunan bunyi seruling dan terompet.

Orang-orang bijak, baik pria maupun wanita, mengatakan bahwa kita mencintai musik karena musik menyerupai alunan bunyi alam semesta yang mengumandangkan kemanunggalan segala sesuatu dengan Keberadaan.

Sebelumnya, kita merupakan bagian dari harmoni itu, dan alunan suara soprano serta getaran bunyi bas yang ada menyegarkan kembali ingatan kita akan kesatuan kita dengan harmoni jiwa tersebut. Akan tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, sementara tubuh-tubuh kita ini penuh diliputi dengan keraguan, kelupaan, dan ratapan duka?
Itu terjadi bagaikan air yang mengalir ke seluruh tubuh, yang entah bagaimana ia berubah menjadi pahit dan basi, namun air tetaplah air. Ia akan terus mengeluarkan nyala api! Ada alunan musik yang berdengung ke seluruh tubuh yang mampu memadamkan kobaran nyala api itu.

Dengarkanlah alunan melodi musik ini, Berusahalah agar nyaring bunyinya makin kuat terdengar.

Nabi Muhammad pernah bersabda, “tanda peristiwa agung itu terjadi apabila seseorang tidak lagi tertarik terhadap kesenangan dan kebahagiaan semu di dunia”
Demikianlah yang terjadi dalam diri seorang pangeran muda. Usia sama sekali tidak menjadi patokan atau penghalang perubahan mulia ini. Tiba-tiba, pangeran muda itu melihat dunia ini sebagai suatu drama besar raja yang tinggal di puncak gunung: anak-anak bertarung merebut puncak gundukan pasir di pantai. Salah satu berhasil mencapai puncaknya berteriak keras: “Aku adalah penguasa!” Dan yang lain menariknya turun, lalu naik dan meneriakkan hal serupa, “Sekarang akulah penguasanya!” Begitulah terus terjadi.

Kerumitan dan ketidakteraturan dunia ini dapat menjadi sangat sederhana, dan itu terjadi dengan cepat.

Oleh karena itu, Sadar dan Bangunlah….!!!
Demikian apa adanya!

Generalized Method of Moment (GMM): Blundell-Bond Estimator

Jan 15, 2012 0 comments


Estimator Blundell dan Bond yang ditemukan pada tahun 1998 dan sering disebut juga sebagai System GMM (SYS GMM). Estimator dirancang untuk data panel dengan periode waktu yang pendek, satu variabel terikat, model yang melibatkan variabel tenggat terikat, linier, memiliki variabel penjelas endogenous dan predetermined, tidak menghilangkan unobserved individual-specific effect serta dapat diterapkan secara umum.

SYS GMM dikembangkan untuk mengoreksi kelemahan first difference GMM (GMM-diff), yang pada bagian sebelumnya telah diuraikan. Hal ini menyebabkan penjelasan mengenai SYS GMM akan dapat dipahami jika didahului oleh penjelasan mengenai GMM-diff. Bagian ini juga akan menjelaskan bagaimana estimator SYS GMM dapat mengatasi kasus measurement error dan endogenitas dalam variabel penjelas.

GMM-diff. Pertama-tama dijelaskan tentang pendekatan GMM-diff. Untuk penyederhanaan, terdapat model AR (1) dengan unobserved individual-specific effect
Yit = αyi,t-1 + ηi + vit, |α| < 1 (5.3)
untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T, dimana ηi + vit = uit memiliki struktur komponen standard error.
E [ηi] = 0, E[vit] = 0, E [vit ηi] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T (5.4)
Diasumsikan bahwa transient error tidak berkorelasi secara serial.
E [vit ηi] = 0 untuk i = 1, ..., N dan s ≠ t (5.5)
dan kondisi awal yi1 predetermined.
E [yi1 vit] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T (5.6)
Asumsi-asumsi ini menyatakan m = 0,5 (T - 1) (T - 2) moment restriction.
E [yi,t-s Δvit] = 0 untuk t = 3, ..., T dan s ≥ 2 (5.7)
yang kemudian secara lebih singkat dapat ditulis:
E(Zit Δvit) = 0 (5.8)
di mana Zi adalah matriks (T - 2) x m yaitu:

Z= …..(5.9)

dan Δvit adalah (T - 2) vektor (Δvi3, Δvi4, ..., Δvit). Ini adalah moment restrictions yang dieksploitasi oleh standar linear GMM-diff sehingga secara tidak langsung menyatakan penggunaan tenggat level t-2 dan periode sebelumnya sebagai instrumen untuk persamaan first differences (Arellano dan Bond, 1991). Hal ini menghasilkan estimator α yang konsisten saat N menuju tidak terhingga dengan T tetap.

Estimator GMM-diff ini ditemukan memiliki sifat-sifat poor finite sample dalam konteks bias dan akurasi pada sejumlah kasus penting. Hal ini hanya akan terjadi saat tenggat level dari suatu seri berkorelasi secara lemah dengan first difference berikutnya sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first difference menjadi lemah (Blundell dan Bond, 1998). Dalam model AR (1) pada persamaan (5.3), hal ini terjadi sebagai parameter autoregressive (α) yang mendekati 1 atau saat varians dari individual effecti) meningkat relatif terhadap varians transient shockit).

Simulasi yang dilakukan oleh Blundell dan Bond (1998 dan 2000) menunjukkan bahwa dapat saja terjadi large downward finite sample bias pada estimator GMM-diff terutama saat jumlah periode yang tersedia tidak terlalu panjang. Diperlukan kehati-hatian sebelum menggunakan metode ini untuk suatu seri seperti GDP per kapita dari sampel yang hanya memiliki lima atau enam periode dari rata-rata lima tahun.

SYS GMM. Estimator SYS GMM dikembangkan oleh Arellano dan Bover (1995) dan Blundell dan Bond (1998). Inti dari SYS GMM adalah sistem persamaan yang diestimasi adalah dalam bentuk first difference dan level. Instrumen-instrumen yang digunakan untuk persamaan dalam bentul level adalah lagged first difference dari seri tersebut. Instrumen-instrumen ini merupakan instrumen yang tepat dengan asumsi restriksi kondisi awal.

SYS GMM merupakan estimator yang memiliki sifat superior finite sample. Untuk memperoleh estimator GMM linear yang cocok untuk mengestimasi model-model autoregressive panel data yang persistent, Blundell dan Bond (1998) mempertimbangkan asumsi tambahan yaitu
E [ηiΔyi2] = 0 untuk i = 1, ...,N. (5.10)

Asumsi ini memerlukan restriksi pada kondisi awal yit. Kondisi (5.10) terjadi jika rata-rata dari seri yit yang bervariasi menurut individu, tetap konstan menurut periode waktu 1, 2, ..., T untuk tiap individu. Jika dikombinasikan dengan model AR (1) yang telah dikemukakan dalam persamaan (5.3) sampai dengan (5.6) maka asumsi ini akan menghasilkan T-2 kondisi momen linier sebagai berikut
E (uit Δyi,t-1) = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 3, 4, ..., T. (5.11)

Hal ini memungkinkan penggunaan lagged first-differences dari seri sebagai instrumen untuk persamaan dalam bentuk level sebagaimana yang diusulkan oleh Arellano dan Bover (1995).

Tahap selanjutnya adalah membangun suatu estimator GMM yang mengekspolitasi baik restriksi momen (5.7) dan (5.11). Hal ini menggunakan stack System persamaan (T-2) dalam bentuk first differences dan persamaan (T-2) dalam bentuk level, untuk periode 3, ..., T. Matriks instrumen untuk sistem ini dapat ditulis sebagai berikut:
Z =

dimana Zi diberikan sebagai persamaan (4.9). Himpunan lengkap dari second-order moment condition dengan asumsi (4.10) dapat diekspresikan sebagai
E(Zit Δvit) = 0 (5.12)
dimana ui (Δvi4, ..., Δvit, μi3,..., μit)

Jadi estimator System GMM (SYS GMM) mengkombinasikan himpunan persamaan standar dalam bentuk first difference dengan tenggat level yang cocok sebagai instrumen, dengan tambahan persamaan dalam bentuk lagged first difference sebagai instrumen. Walaupun level yit berkorelasi dengan individual specific effecti) pada model (5.3), asumsi (5.10) mensyaratkan bahwa first difference Δyit tidak berkorelasi dengan ηi sehingga memungkinkan lagged first difference untuk digunakan sebagai instrumen dalam persamaan level.

Blundell dan Bond (1998) juga melaporkan data hasil simulasi Monte Carlo yang membandingkan kinerja finite sample dari GMM-diff dan SYS GMM. Untuk Model AR (1), hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang dramatis dari finite sample bias dan keuntungan dalam hal ketepatan saat mengeksploitasi tambahan kondisi-kondisi momen ini di saat parameter autoregressive diidentifikasi secara lemah oleh persamaan-persamaan first-difference.

Temporary Measurement Error. Bagian sebelumnya telah menjelaskan bagaimana estimator GMM-diff dan SYS GMM dapat memberikan estimasi parameter yang konsisten dalam model-model panel data dengan variabel tenggat penjelas dan unobserved time-invariant individual-specific effect. Saat ini akan dijelaskan bagaimana metode-metode ini dapat memungkinkan transient measurement error. Diingatkan pula bahwa beberapa tambahan permanent measurement error telah dimasukkan pula ke time-invariant individual effect sehingga juga telah dikontrol.

Anggaplah spesifikasi AR (1) ingin diestimasi dalam persamaan (5.3) namun yit yang sesungguhnya tidak diobservasi melainkan yang diobservasi adalah
yit = yit + mit
untuk i = 1, ..., N dan t = l, ... , T, yaitu measurement errors mit yang tidak berkorelasi secara serial
E [mit mis) = 0 untuk i = 1, ..., N dan s ≠ t
dan tidak berkorelasi dengan beberapa realisasi dari disturbance kecuali current disturbance vit.
E [mit vis] = 0 untuk i = 1, ..., N dan s ≠ t.

Model empiris yang menggunakan data yang telah diobservasi adalah
yit = α Dyit-1 + η1 + &epsilon;it |α| < 1 (5.13) &epsilon;(sub>it = vit + mit – α mi,t-1
untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T, dan persamaan first-difference adaIah
ΔYit = αΔy i,t-1 + Δ&epsilon;it |α| < 1 (5.14) AF-it = Δvit + Δmit - α Δmi,t-1
untuk i = 1, ..., N dan t = 3, ..., T.

Dalam kasus ini, sangat penting untuk mencatat bahwa variabel penganggu &epsilon;it dalam persamaan (5.13) secara serial berkorelasi, sehingga tenggat dari seri yang dapat diobservasi yit-2 bukan lagi merupakan instrumen yang tepat untuk persamaan first difference dalam persamaan (5.14). Tanpa asumsi selanjutnya, hal ini berarti tidak ada instrumen yang tersedia untuk persamaan first difference equation dalam periode t = 3, dan setidaknya empat observasi seri waktu pada mis-measured series yang diperlukan untuk mengidentifikasi parameter α. Jika diasumsikan bahwa T > 4, maka akan tersedia kondisi momen berikut:
E [Yi,t-SΔ&epsilon;it] = 0 untuk t = 4. ..., T dan s ≥ 3,
yang menyatakan penggunaan tenggat level dari seri yang dapat diobservasi pada t-3 dan periode sebelumnya sebagai variabel instrumen untuk persamaan dalam bentuk first difference.

Asumsikan bahwa E( ) = 0 untuk i = 1, ..., N, sehingga kondisi momen untuk persamaan dalam bentuk level akan tersedia saat tidak terdapat measurement error. First-order moving average serial correlation dalam st juga menyatakan bahwa tidak lagi merupakan instrumen yang tepat dalam bentuk level. Asalkan measurement error mit tidak menyebabkan korelasi di antara observed first-differences dan individual ηi sehingga dapat ditulis:
E [ ] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, .., T.
maka kondisi momen berikut tersedia
E ( ) = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 4, ..., T.

sehingga lagged first-difference yang cocok dari seri yang dapat diobservasi dapat juga digunakan sebagai variabel instrumen untuk persamaan dalam bentuk level dengan measurement error yang tidak berkorelasi secara serial. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kondisi momen tambahan ini akan menjadi sangat penting untuk membangun estimator GMM dengan finite sample properties dalam konteks seri yang sangat persistent.

Financial intermediation and Economic Growth

Jan 7, 2012 0 comments
Quickly development of banking sector, has separate implication in monetary sector. This thing is because of development of fast financial sector will cause various monetary magnitudes to become changing, having implication to more and more (the complex monetary policy transmission). In line with increasingly grows it banking system, monetary policy effectiveness increasingly depends on to condition of financial sector. This thing happened because creation process of money no longer fully determined by central banking policy but also influenced by behavior of banks in doing credit contraction. In this bearing, money supply no longer have the character of exogenous but rather haves the character of endogenous, causing monetary policy concept must be extended by entering factors which can influence behavior of bank and debtor in doing credit insurance expansion and money supply. Thereby, policy in banking area no longer solely holds important role in expansion of monetary infrastructure for the agenda of overcoming gap between savings and investment but also plays important role in looking after stability of macroeconomics through its (the interrelationship with monetary policy effectiveness).

The economists initially has difference of opinion sight about the role of monetary intermediary in economic development. Firstly opinion about the role of important intermediaries, while assessing second opinion on the contrary. Bagehot and Hicks in Zulverdi et.al (2005), for example, believes that banking system plays important role in mobilization of fund to finance industrialization era in English. And so do with Schumpeter (1911) what looks into that banking system push technological development passed its(the role in identifying and finances the entrepreneur having ideas innovative. On the contrary, Robinson (1952) sees that banking system is not economic activity impeller but exactly development of banking system which depend on development of corporate world. Lucas (1988) also criticizes opinion which too looks into important the role of monetary factors in chartered investment counsel growth.

In development hereinafter, firstly opinion tends to increasingly popular. Various studies compare pass by quickly state and analysis at industrial level and company concludes that banking system plays vital role in pushing chartered investment counsel growth. Literature indicates that development of banking system influences level of savings, investment, innovation of technology, and growth of long-range chartered investment counsel in a state. Various empiric studies even proves that development of banking system can predict development of chartered investment counsel forwards. In financial sector, for the agenda of overcoming gap between savings and investment, effort moves domestic source of fund is done by developing financial sector infrastructure, especially banking industry.

As impact of the limited motion space of financial sector hence happened is so-called by McKinnon and Shaw as "financial repression" what causes "shallow finance", that is channel doesn't of fund (buying power) efficiently to activities of efficient and productive chartered investment counsel also, so that economic growth become blocked.

Levine (1997) divides the functions of the financial system into five basic functions, namely:
  1. Savings mobilization function, The financial system is functioning properly is its ability to raise funds with transaction fees and costs to a minimum of information. Here the credibility to play an important role as a credible financial system will be able to collect public funds with low costs.
  2. Information collection and allocation functions funding sources, Financial system that functions well is the ability to collect, process and translate information into investment decision-making tool that looks at price movements of financial instruments that reflect the fundamental condition.
  3. The function of monitoring and supervision of company, The financial system is functioning properly the low cases of fraud by management because the monitoring of company management.
  4. Risk management function, Financial system that functions well is the ability to better diversify risk.
  5. Function facilitate transactions, A good financial system is the existence of mechanisms of financial transactions fast, secure, and low cost.


Economic Growth And Productivity Increase
Poor countries densely populated and many live on the extent and limits of living raise difficulties. high living standards and growing. While some developed countries like United States and Canada, West European countries, Australian, New Zealand, and Japan enjoys life level is height that is increasing from time to time. Population means added labor and legal validity Fewer Added results lead to the smaller increase in output, decline in average product and the decrease in living standards. Causative the low of earnings in nations is growing is increase of a real resident quickly which is not made balance to with strength pushing economic growth in the form of increase of amount and quality of source of nature, capital, and technology progress (Levine and Loayza, 2002).

Meanwhile increase of goods amounts capital, technology progress, and increase of quality and skill of labor in advance nations delivers big output of which can increase life level. With existence of level of available and high productivity goods of capital will push chartered investment counsel growth (Diamond and Dybvig, 1983).

Affecting The Economic Growth Factors
The factors that affect economic growth include natural resources, human resources, capital resources, and expertise or entrepreneurship (Digg, 1983).
  1. Natural Resources, Natural resources includes land and natural resources such as soil fertility, climate/weather, forest products, mining, and seafood, greatly affect a nation's industrial growth, especially in terms of supply of raw materials production. Meanwhile, the expertise and entrepreneurship needed to process raw materials from nature, becomes something that has a higher value (also known as the production process).
  2. Human Resources, Human resources also determine the success of national development through the number and quality of the population. Large population is a potential market to market production results, while the quality of the population determines how large the existing productivity.
  3. Capital Resources, Human capital needed to process these raw materials. Capital formation and investment is intended to excavate and process the wealth. Capital resources in the form of capital goods is very important for the smooth progress and economic development because of capital goods may also increase productivity.
  4. Expertise or Entrepreneurship, According Schumpeter, mover of progress is an entrepreneur with ideas for new products, new ways while yielding products or some other innovation.


Theories And Models of Economic Growth
In the era of classical economists like Adam Smith in his essay book entitled An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth Nations, to analyze because the entry into force Economic growth factors that determine economic growth. After Adam Smith, several other classical economists like Ricardo, Malthus, Stuart Mill, also discussed issues of economic development.
  1. Schumpeter's Theory of Innovation (1911) , In this theory emphasizes the innovation factor entrepreneurs as economic growth engines capitalistic. The dynamics of competition will encourage this.
  2. Harrot-Domar Growth Model (1969), This theory emphasizes the concept of natural growth rate. Besides the quantity of labor input is also taken into account because it increases the efficiency of education and this exercise. Model can determine how much savings or investments needed to maintain natural economic growth rate is the number of natural economic growth rate multiplied by the capital-output ratio (Diamond, 1984).
  3. Leontief Input-Output Model, This model is a picture of the flow and the relationship of each industry. By using this table, the planning of economic growth can be done consistently because it can be known picture of the flow of input-output relationship of each industry. Relationship is measured by input-output coefficients and in the short term or unchanging considered constant (Bernanke and Gertler, 1986).
  4. Lewis Growth Model , This model is a model that explains the special case of a developing country of many (dense) populations. The emphasis is on the transfer of excess population to the modern sector of agriculture sector in the industrial capitalists who financed from the surplus profits (Bernanke and Gertler, 1986).
  5. Rostow's Economic Growth Model, This model emphasizes stage of review on-stage history of economic growth and the characteristics and requirements of each. These stages are stages of a traditional society, a prerequisite stage of take-off, take-off phase, stage of movement toward adulthood, and finally high consumption stage (Fuerst, 1994).

Generalized Method of Moment (GMM): Arelano-Bond Estimator

Jan 6, 2012 0 comments

Pada bagian sebelumnya sekilas telah dibahas mengenai permasalahan ekonometris dalam data panel dinamis maupun permasalahan data panel dengan menggunakan variabel tenggat terikat (lag dependen). Pada bagian ini akan menelaah lebih mendalam mengenai data panel dinamis ( dynamic panel data) dengan menggunakan Generalized Method of Moment (GMM).

GMM-diff dikembangkan oleh Holtz-Eakin dkk (1988) dan Arellano dan Bond (1991). Prosedur yang digunakan memberikan beberapa keuntungan terhadap perkembangan model panel yang melibatkan variabel tenggat terikat. Pertama, potensi yang dapat menyebabkan bias pada estimator dihilangkan dengan jalan meniadakan μi. Kedua, penggunaan variabel instrumen dapat menghasilkan estimator yang konsisten walaupun terdapat variabel endogen dalam model yang diestimasi. Ketiga, penggunaan variabel instrumen memungkinkan keberadaan estimator yang konsisten walaupun terdapat variabel measurement error (Oliveira, et.al.,, 2005).

Estimator GMM-diff menggunakan persamaan first difference. Transformasi ini akan menghilangkan μi serta memungkinkan variabel-variabel tenggat endogen pada periode kedua dan sebelumnya untuk menjadi variabel instrumen yang tepat asalkan tidak terdapat korelasi serial pada random error. Hal itu dapat diuji dengan menggunakan uji untuk korelasi serial untuk residual dalam bentuk first difference. Selanjutnya pada tahun 1998, kelemahan dari estimator GMM-diff mulai dibicarakan lebih lanjut.

Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa dalam model autoregressive distributed lag dapat terjadi bias pada estimator first difference sebagai akibat lemahnya variabel instrumen karena tidak terdapat hubungan yang erat antara variabel dan variabel instrumennya. Cara yang sederhana untuk mendeteksi keberadaan lemahnya variabel instrumen adalah melakukan perbandingan antara hasil yang dicapai oleh koefisien autoregressive melalui estimator GMM-diff dengan alternatif estimator (OLS dan within group). Dalam model AR (1), ditunjukkan bahwa OLS estimator dengan keberadaan μi akan menghasilkan parameter yang upward bias (Hsiao, 1986) dan within group memberikan parameter yang downward bias terutama pada panel dengan periode analisis yang pendek (Nickell, 1981). Hal ini berarti bahwa estimator yang konsisten akan memiliki parameter yang nilainya di antara nilai parameter yang diestimasi dengan menggunakan OLS dan within group. Jika variabel instrumen yang digunakan lemah, maka parameter yang dihasilkan oleh GMM-diff akan tetap mengalami downward bias.

Untuk mengoreksi kelemahan estimator GMM-diff maka Blundell dan Bond (1998) mengusulkan agar persamaan dalam first difference harus dikombinasikan dengan persamaan dalam bentuk level agar instrumen yang digunakan harus tetap ortogonal terhadap μi. Variabel terikat dalam bentuk level seharusnya berkorelasi dengan μi sehingga memerlukan situasi yang mengijinkan adanya korelasi antara variabel penjelas dan μi. Hal ini tidak memungkinkan penggunaan variabel instrumen dalam bentuk level terhadap persamaan dalam bentuk level. Selanjutnya, Blundell dan Bond (1998) juga menekankan bahwa dalam model autoregressive distributed lag, seri dari first difference dapat tidak berkorelasi dengan μi asalkan saja seri tersebut memiliki rata-rata yang stasioner. Hal ini menjadikan lagged first difference dapat digunakan sebagai instrumen pada persamaan dalam bentuk level. Ketepatan instrumen yang digunakan dapat diuji dengan Sargan test of overidentifying restrictions.

Dari uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa estimator GMM-diff maupun SYS GMM dibangun dalam kerangka GMM. GMM adalah metode estimasi yang terbaik untuk panel data yang melibatkan variabel tenggat terikat sebagaimana yang disebutkan pula oleh Verbeek (2000: 329-331), Baltagi (2001: 130-131) dan Green (2000: 583). Titik awal dari estimasi GMM adalah suatu hubungan teoritis yang harus dipenuhi oleh parameter. Gagasannya adalah memilih parameter yang diestimasi sedemikian rupa sehingga sedekat mungkin dengan hubungan teoritis tersebut. Hubungan teoritis ini diisi oleh sampel dan estimasi dipilih untuk meminimalkan jarak terbobot di antara nilai teoritis dan nilai aktual. GMM tidak memerlukan informasi tentang bentuk distribusi yang tepat dari residual.

Hubungan teoritis yang biasanya harus dipenuhi oleh parameter biasanya adalah orthogonality condition di antara beberapa fungsi parameter f(θ) dan sekelompok variabel instrumen variabel Zt:
E (f (θ)' Z) = 0 ............. (1.1)


di mana θ merupakan parameter yang diestimasi. Estimator GMM memilih parameter yang diestimasi sedemikian rupa sehingga hubungan-hubungan sampel di antara instrumen-instnunen dan fungsi ƒ sedekat mungkin dengan nol sebagaimana didefinisikan oleh kriteria fungsi:
J(θ) = (m(θ) = (m(θ))' Am(θ)) ............. (1.2)


di mana m(θ) = f(θ)'Z dan A adalah matriks terbobot. Beberapa symmetric definite matrix A akan menghasilkan q sebagai suatu estimasi yang konstan. Tetapi, dapat diperlihatkam bahwa suatu kondisi perlu (bukan kondisi cukup) untuk mencapai estimasi efisien dari q adalah membuat A sama dengan invers dari matriks kovarians momen sampel m.

Beberapa estimator lain dapat dilihat sebagai kasus khusus dari GMM. Misalnya, OLS dapat dilihat sebagai estimator GMM di mana variabel penjelas tidak berhubungan dengan residual.

GCG and Type of Ownership in Banking Industry

Jan 5, 2012 0 comments
According to Caprio and Levine (2002), corporate governance in the banking industry meets two essentials problems: (i) agency problems in banking industry is in very high levels (ii) regulation and supervision that are applied to the banking industry, in a separate level, even can off-set the mechanism of the corporate governance itself. Hart (1995) stated that the corporate Governance arises when the agency problems in internal corporation increase and the transaction cost can not be solved by a contract explicitely. The statement is supported by Fama and Jensen (1983):
“…agency problems arise because contracts are not costlessly written and enforced”
Agency problem in the banking industry has the different dimension with the other industries since there is a regulator’s role which represents stakeholders’ needs. Related with the state-owned bank, agency problems are getting complex since the possibility of the rising of multi agents and principal (Tandelilin, 2004). So that, in the banking industry there is a dimension of principal- agent problems that are different with another industry (Llewellyn and Sinha, 2000).

Agency problems in the banking sector are in two categories. The first is the agency problem caused by debt (agency cost of debt) and the second is the agency problem that related to the separation of ownership and control. Ciancanelli and Gonzalez (2000) stated that the approach the agency theory which are trusted to be existed in order to understand the corporate governance problems in the banking industry has to be reevaluated because of the difference of the basic premise of the agency theory used and the characteristics of the banking industry in spite of the problem of the asymmetrical information that is related to all of the sides.

The corporate governance in banking industry is related to two things. First, the external corporate governance with its financial safety nets and prudential regulation. Second, internal corporate governance with its accountability, disclosure, and transparency that departs from creating the arising of the bank system and minimizes the moral attitudes deviation. By using the frame of the corporate governance in banking industry by Ciancanelli (2000), Nam (2004), and Mehran (2003), this research develops three construction : (1) External corporate Governance (ECG) (2) Internal Corporate Governance (ICG) and (3) Type of Ownership.

THEORITICAL FRAMEWORK
Corporate Governance includes (1) set of rules that sets the relationship of the shareeholders, manager, creditor and others deal with the rights and responsibility of each side, and (2) set of mechanism which guarantees direct and indirectly of the application of the set of rules (ADB, 2001). Deal with the banking industry, OECD (1999) described corporate Governance as follows:
……’a set of relationship between the company’s management, its board, its shareholders and other stakeholders. Corporate Governance also provides the structure through which the objectives of the company are set, and the means of attaining those objectives and monitoring are determined. Good corporate governance should provide proper incentives for the board and management to pursue objectives that are interests of the company and shareholders and should facilitate affective monitoring, thereby encouraging firms to se the resource more efficiently’
Macey and O’Hara (2001) stated that corporate governance in banking industry has a wide thought since there is a type of specific contractual that happened in the banking industry, some of them are the protection to the shareholders and stakeholders. Besides that, the specific characteristic of bank needs government’s intervention in the type of regulations and supervisions to control the bank management’s act.

External Corporate Governance
It is clear that developing models of corporate governance in banking requires that we understand how regulation affects the principal’s delegation of decision making authority (Jensen and Smith, 1984) and what effects this has on the behaviour of their delegated agents. (Freixas and Rochet, 1997). Regulation has at least four effects. Firstly, the existence of regulation implies the existence of an external force, independent of the market, which affects both the owner and the manager.

Secondly, because the market, in which banking firms act is regulated, one can argue that the regulations aimed at the market implicitly create an external governance force on the firm. Thirdly, the existence of both the regulator and regulations implies the market forces will discipline both managers and owners in a different way than that in unregulated firms. Fourth, in order to prevent systemic risk, such as lender of last resort, the current banking regulation means that a second and external party is sharing the banks’ risk. (Ciancanelli, 2000).

As the external corporate governance mechanism, banking regulation reflect in safety nets facilities such as deposit insurance (explicit and implicit) and lender of the last resort of central bank. In order to keep financial safety nets from moral hazard, generally, the government applied the prudential regulation and supervision. In this case, Dewatripoint and Tirole (1993) stated that the prudential regulation and supervision mostly meant to keep the bank solvency and as the incentive for stakeholders to control or apply the corporate governance in banking sector widely.

Internal Corporate Governance
The Bassel Committee on banking supervision (1999) stressed that the board and senior management are in fully responsible in apllying good corporate governance. In order to support the effectiveness of editorial board’s work, some aspects are needed to consider about, they are: board’s structure and independency, function and activity, compensation and other obligations (Nam, 2004). The internal corporate government in this research is divided into two; they are internal corporate governance- manager (ICG- manager) and internal corporate governance owner (ICG- owner). The difference of ICG- manager and ICG- owner is in the focus control. ICG- manager stressed to the internal of the manager which is stimulated externally through the attention of the owner to the manager’s interest which is actualized in the remuneration and the other types of another human resource development to increase the bank revenue (Jensen and Murphy, 1990). The ICG- owner stressed in the control throughout the manager to increase the efficiency.

Ownership Dispersion
Ownership dispersion depends on the numbers of shareholders. Practically, the extreme focused types of ownership are often faced in the close private bank. However, the dispersed type of ownership is state-owned bank, because the government act as an agent. Between the both of those extreme points, there is a possibility to the private bank to sell some of their stakes to the public. So that creates the form of majority and minority ownership. Husnan (2001) explained the agency problems to the ownership dispersion in the frame of corporate governance by grouping the company based on the three characteristics of the ownership. The three of the characteristics are (a) dispersed ownership (b) closely held ownership and (c) the state owned firms.

Theoretical background
Conceptually, this research classified the type of the bank ownership into four groups. They are:
  • Foreign or joint venture bank
  • Private unlisted bank
  • Private listed bank
  • Government (state-owned) bank
Each of these ownership types has different level of agency problem. In this case the foreign bank is the banks that have reputation and internationally trusted which are sure for the market to apply good corporate governance. Generally, the closed private banks are controlled tightly by ownerships in the relatively small number.

This structure of ownership is an extreme closely held ownership, because the relatively small amount of the owner are able to fully control management mechanism for maximizing the company’s financial performance. As the result, the degree of the agency problems between the owners with the manager tend to be low.

The public private bank moved the degree of the agency problems in Indonesia to conflict of the major owner’s interest and the minor one. Agency problem might be different if there was no major owner who controlled the management. The wide dispersed ownership by the public will move the agency problems to the conflict of interest between the dispersed owners with the manager. The condition in Indonesia indicated more in the major owner who controlled the management’s performance, so it’s potential in raising the conflict of the majority and the minority. The state-owned bank is a unique ownership because practically, there is no pure owner who can control to the company management. The government, both in context of the executive and legislative and all sides related with the management of the state-owned bank as an agent without principal. However, the state-owned bank is a chosen ownership that extremely against the closely held ownership, because the forms of the ownership are dispersed completely. So, the degree of the agency problem in this are is counted as the strongest relatively compared with the other forms of ownership.

Based on the typology of the ownership’s form and potential agency problems, it is possible to describe the agency problems in banking industry as in table 2-1. In the table, the agency problems might happen between the owner vs. manager and between the manager/ the owner vs. creditor or the minority.
Table 2-1. The agency problems and type of ownership in banking industry
Type of Conflict Reputable Foreign Bank Private Bank Public listed Bank State-owned Bank
(Proxy for GCG) Closely held Minority-majority Dispersed
Manager vs. owner
*
**
***
>
****
Manager/owner vs. Creditor/ Minority
*
**
***
****
Note: *= low** = high *** = higher **** = highest

RESEARCH MODEL
The agency problems caused firm performance cannot run optimally. The way to detect the agency problems is learning the management efforts which are related to external corporate governance as well as internal corporate governance. The different type of ownership have the different level of utility and the different ability in controlling the management. Figure 2-1 shows the research’s framework that bank performance is effected by three exogenous constructions.
Figure 1.
Research Framework


Operating Variables
External Corporate Governance. This research used the aspect of regulation and finance supervision as the reflection of external corporate governance by stressing the in the obedience factor to regulation and supervision. The composite variable of regulation obedience is in the form of logistic probability that is used as proxy of external corporate governance. The higher the probability of the regulation’s obedience and so higher the bank willingness to operate the company under the regulations. The external corporate governance variables that related to the regulation’s obedience consist of capital aspect and earning assets. This research used the government classification about the healthy and unhealthy bank during 1999 until 2001 to build analysis model. There are the evidence for the score: 1 for healthy bank and 0 for unhealthy bank. The unhealthy banks or under controlled banks reflect the consequence of the failed bank management attitudes or disobey the regulations. The healthy banks reflect the discipline of the bank management in obeying the regulations.

Internal Corporate Governance-manager are taken from pay-performance sensitivity. Jensen and Murphy (1990) had a research about pay-performance sensitivity. Pay-performance sensitivity is reflected from the parameter coefficient which is estimated with the pay regression model and the incentive to the wealth of the stakeholders. In this case ICGM is the internal corporate governance as the manager’s interest representation that are taken from the estimation of parameter coefficient.

Internal Corporate Governance-owner. ICG-owner is owner’s direct interference in the form of manager controls. Some of them are in actions on behalf of and for owner and the command for internal editor. The essence of the ICG- owner is in the efficiency factor of preventing manager from doing his own interest. Net interest margin (NIM) represents ICG- owner. This research has an assumption that the use of NIM in a period hasn’t reflected the appropriate mechanism for the owner in applying ICG owner. In other words, this research stresses to the stability of NIM from one to another period that reflected more in the success of the owner control mechanism than in the applying of NIM in a period. So that we use coefficient of variation NIM reflected internal corporate governance-owner interest.
Generally, empirical research of the effect of corporate governance and type of ownership to the bank performance can be explained by agency theory. However, there is a dimension of principal agency problems that are more complex in banking industry that cannot be found in non-financial banking industry. Besides, the existence of regulation factor as the reflection of public interest caused the control market mechanism as one of the mechanism of corporate governance to discipline the manager to become more useless. Moreover, with deposit insurance program, investors tend to be passived in controlling to prevent every risk increasing that are done by the owner or the stakeholder.

The agency theory, formalized by Jensen and Meckling (1976), posits that the agency costs of deviation from value maximization increase as managers’ stakes decrease and ownership becomes more disperse. Agency problem in banking industry in the context of corporate governance through the approach of ownership dispersion results as follow:
  • the interference of regulation in the concentrated ownership (private unlisted Bank) and dispersed ownership (state-owned bank) caused agency problems in high level degrees. This result is in line with the view that is based on the ownership’s aspect stated that the state-owned companies naturally are less efficient than the private companies. Governance view stated that private companies are more successful in handling the corporate governance problems than the state-owned companies. Reversely, private ownership are based on their skills that are better in contracting and incentives (Schleifer and Vishny (1994)
  • ;
  • Regulation intervention in less concentrated ownership (private listed bank) caused the agency problems fall in lower level degree. According to the agency theory, the separation of ownership and controlling functions between the principal and agents is possible to happen in the private listed bank than in the private unlisted bank. However, in banking industry, the agency problems that raised between the major and minor shareholders or between the manager- stakeholders “are ignored” by the function of regulator (Llewllyn and Sinha, 2000).

Market Risk Research

Jan 2, 2012 0 comments
Terdapat dua aliran penelitian tentang eksposur risiko pasar. Studi dalam aliran pertama menetapkan bahwa harga saham adalah sensitif terhadap perubahan suku bunga, nilai tukar, dan harga komoditas. Mereka juga menilai tingkat hubungan cross-sectional antara sensitivitas harga saham dengan perubahan nilai pasar/harga dan keterbatasan jumlah informasi risiko pasar yang tersedia pada penelitian sebelum FRR No. 48. Aliran kedua secara khusus membahas manfaat informasi yang dimandatkan oleh FRR No. 48.

Lima penelitian dalam aliran pertama berhubungan dengan studi ini. Schrand (1997), dengan menggunakan data regulator swasta, menunjukkan bahwa lembaga tabungan dan pinjaman menggunakan tingkat suku bunga derivatif dalam mengurangi sensitivitas harga ekuitas mereka terhadap perubahan tingkat suku bunga. Tufano (1998), menggunakan analyst-generated informasi prifat, menunjukkan bahwa harga komoditas hedging merendahkan sensitivitas harga saham tambang emas terhadap perubahan harga emas. Jorion (1990), dengan menggunakan pengungkapan publik, menemukan bahwa sensitivitas harga saham perusahaan terhadap harga dolar AS dari perdagangan tertimbang mata uang asing lebih besar pada perusahaan-perusahaan dengan operasi asing yang lebih tinggi. Bartov dan Bodnar (1994) mencatat bahwa pasar tidak sepenuhnya memasukkan informasi tentang sensitivitas perusahaan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang asing sampai sensitivitas tersebut mempengaruhi laporan laba akuntansi. Hasilnya menunjukkan bahwa pengungkapan publik tentang luasnya operasi asing hanya memberikan ukuran yang tidak lengkap dari sensitivitas risiko mata uang perusahaan. Terakhir, Wong (2000) mencatat bukti yang lemah dan tidak konsisten hubungan antara sensitivitas harga saham perusahaan terhadap perubahan nilai tukar dan posisi derivatif yang dilaporkan sesuai dengan persyaratan SFAS No 119 (FASB 1994d).

Studi dalam aliran penelitian pertama menunjukkan bahwa return sekuritas sensitif terhadap perubahan nilai pasar/harga. Mereka juga menunjukkan bahwa, sebelum FRR No. 48, sensitivitas harga saham perusahaan pada perubahan nilai pasar/harga dikaitkan dengan keterbatasan jumlah informasi risiko pasar industri spesifik. Namun, konsisten dengan review SEC tentang pengungkapan publik, mereka menemukan bahwa informasi SFAS No 119 tidak begitu berguna bagi investor. Tak satu pun dari studi tersebut memfokuskan pada kegunaan informasi FRR No. 48. Namun, Schrand (1997), yang menggunakan data regulator yang sama dengan pengungkapan tabular FRR No. 48, menunjukkan bahwa Disclosure FRR No. 48 mungkin berguna bagi investor. Demikian pula, Wong (2000) menunjukkan bahwa pengungkapan yang lebih komprehensif yang disyaratkan oleh FRR No. 48 adalah lebih baik dalam menggambarkan eksposur risiko pasar perusahaan dan mengatasi beberapa permasalahan defisiensi yang diidentifikasikan dalam informasi SFAS No. 119.

Literatur aliran kedua yang terkait, mencakup empat studi yang secara eksplisit memeriksa kegunaan informasi FRR No. 48. Namun, tiga dari yang pertama tidak menggunakan informasi aktual FRR No. 48. Selanjutnya, mereka mengembangkan proxy untuk Disclosure FRR No. 48 atas dasar informasi bahwa pengungkapan perusahaan minyak dan gas serta bank sebelum FRR No. 48 menjadi efektif. Untuk sampel penghasil minyak dan gas, Rajgopal (1999) membangun proxy untuk pengungkapan tabular dan pengungkapan sensitivitas FRR No. 48 dari pengungkapan cadangan nilai wajar (SFAS No. 69, FASB 1982) dan jumlah derivatif yang tidak tetap (SFAS No 119, FASB 1994d). Dia melaporkan hubungan positif antara proksi Disclosure FRR No. 48 dan sensitivitas return saham perusahaan pada perubahan harga minyak dan gas. Rajgopal dan Venkatachalam (2000), untuk sampel dari 25 indutri kilang minyak, menilai hubungan cross-sectional antara sensitivitas laba dan sensitivitas return pada harga minyak. Mereka menemukan hubungan positif antara proksi Disclosure sensitivitas laba FRR No. 48 dan persepsi pasar tentang eksposur risiko. Ahmed et.al. (2000) menguji maturity gap disclosure bank komersial. Mereka menemukan bahwa pengungkapan tersebut berguna dalam memprediksi perubahan net interest income bank. Terakhir, Thornton dan Welker (2000) menguji pengaruh pengungkapan aktual FRR No. 48 tentang penilaian pasar terhadap sensitivitas harga saham perusahaan pada perubahan harga minyak dan gas. Mereka menemukan bahwa penghasil minyak dan gas mengungkapkan analisis sensitivitas atau perubahan sensitivitas harga saham VAR experience lebih besar dari perubahan sensitivitas harga minyak dan gas pasca FRR No. 48 kemudian mentabulasi perusahaan disclosers dan nondisclosers.

Singkatnya, aliran kedua penelitian ini menunjukkan bahwa pengungkapan risiko pasar FRR No. 48 memberikan informasi yang berguna bagi investor. Namun, bukti-bukti sampai saat ini didasarkan pada sebagian besar proksi untuk informasi FRR No. 48, dan terbatas untuk perusahaan minyak dan gas serta industri perbankan. Sebaliknya, penelitian ini menguji efek pasar pengungkapan aktual FRR No. 48, dengan menggunakan sampel perusahaan non finansial yang luas. Selain itu, penelitian saat ini terutama menguji hubungan antara sensitivitas harga saham terhadap perubahan nilai pasar/harga dan informasi eksposur risiko pasar. Sebaliknya, penelitian ini menguji sensitivitas volume perdagangan harian pada perubahan nilai pasar/harga. Pada bagian berikutnya, penelitian ini menjelaskan mengapa sensitivitas tersebut berhubungan positif dengan ketidakpastian dan keragaman pendapat investor tentang eksposur risiko pasar perusahaan, dan mengapa penelitian ini memprediksi bahwa sensitivitas volume perdagangan tersebut menurun setelah pengungkapan FRR No. 48.

Recent Research
Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa volume perdagangan meningkat dengan ketidakpastian dan keragaman pendapat investor (Karpoff 1986; Kim dan Verrecchia 1994; Kandel dan Pearson 1995; Barron 1995; Bamber et.al, 1997, 1999.). Model Kim dan Verrecchia (1994) tentang likuiditas pasar dan volume perdagangan memberikan dasar konseptual untuk pengembangan hipotesis.

Kim and Verrecchia (1994)
Model Kim dan Verrecchia (1994) menangkap dua fitur yang menonjol dari pengaturan pengungkapan: ketidakpastian/uncertainty (didefinisikan sebagai ketidak-akuratan informasi publik) dan keanekaragaman pendapat/diversity of opinion (didefinisikan sebagai 1 minus korelasi antara dua informasi). Dalam model ini, pelaku pasar menerima sinyal yang berisi informasi tidak tepat tentang ketidakpastian arus kas perusahaan di masa depan, dan memutuskan apakah akan mengenakan biaya dalam pemrosesan lanjutan sinyal informasi nilai relevan. Meskipun Kim dan Verrechia (1994) (selanjutnya KV) menerapkan model mereka pada sinyal release laba yang berisi informasi tentang antisipasi arus kas perusahaan, penelitian ini menerapkan model dengan perubahan dalam sinyal nilai pasar/harga (seperti perubahan suku bunga, nilai tukar, atau harga komoditas). Pergerakan nilai pasar/harga bukan merupakan sinyal spesifik perusahaan, namun literatur sebelumnya menunjukkan bahwa hal ini memiliki implikasi spesifik perusahaan karena berhubungan dengan return ekuitas dan laba (Jorion 1990; Schrand 1997; Tufano 1998; Ahmed et.al, 2000). Penelitian ini menempatkan bahwa implikasi spesifik perusahaan dari pergerakan tersebut untuk mengantisipasi arus kas masa depan yang tidak jelas sebelum FRR No. 48, ketika investor memiliki sedikit informasi atau tidak terdapat informasi tentang eksposur bersih risiko pasar perusahaan.

Sinyal pada model KV merangsang investor untuk terlibat dalam pengolahan informasi yang mahal/mengandung biaya karena implikasi dari sinyal antisipasi arus kas perusahaan adalah untuk penafsiran. Investor karena itu merasa bahwa mereka bisa mendapatkan keuntungan informasi melalui pengolahan informasi yang mahal/mengandung biaya. Sejumlah investor memilih untuk mengeluarkan biaya guna memproses informasi, dalam upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui perdagangan informasi, mereka merasa dapat mencapai peningkatan keuntungan informasi dari pengolahan informasi. Informasi publik kurang tepat dalam meningkatkan penerimaan return untuk menentukan implikasi sinyal spesifik perusahaan, meningkatkan kesediaan sejumlah investor untuk memproses informasi dan memperdagangkannya. Adanya potensi keuntungan dari perdagangan informasi, memungkinkan pengolahan informasi menjadi mahal/mengandung biaya, juga meningkatkan pertentangan pelaku pasar (misalnya, memiliki keragaman pendapat) tentang implikasi penilaian sinyal.

Theoritical Framework
Penelitian ini mengusulkan bahwa ketika investor belajar dari perubahan nilai pasar/harga, seperti perubahan suku bunga, mereka memutuskan apakah biaya tersebut efektif untuk mendapatkan keuntungan informasi dengan memproses informasi yang mahal/mengandung biaya untuk menentukan implikasi arus kas perusahaan dari laju/perubahan harga yang lebih baik. Review awal SEC tentang pengaruh pengungkapan FRR No. 48 yang diuraikan pada Bagian II, menunjukkan bahwa sebelum perusahaan membuat pengungkapan, terdapat kelangkaan informasi mengenai eksposur risiko pasar bersih perusahaan. Oleh karena itu, (1) implikasi arus kas perusahaan dari perubahan nilai pasar/harga cenderung tidak tepat, dan (2) karena ketidaktepatan ini, investor melakukan pengolahan informasi yang mahal/mengandung biaya terhadap perubahan nilai pasar/harga, yang kemungkinan besar informasi tersbut memiliki pendapat yang beragam (diversity of opinion) tentang implikasinya bagi nilai perusahaan. Misalnya, sebelum pengungkapan FRR No. 48, investor melihat kenaikan poin sepuluh-basis suku bunga akan cenderung memiliki penilaian yang tidak tepat dan pendapat yang beragam tentang implikasinya bagi perusahaan.

Smithson et.al,. (1995) berpendapat bahwa perubahan tingkat suku bunga, nilai tukar, dan harga komoditas secara umum mengikuti proses random-walk. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya, investor melihat perubahan terbaru nilai pasar/harga seperti sebagai sesuatu yang permanen yang mempengaruhi besarnya harapan arus kas masa depan perusahaan. Efek potensial nilai perusahaan dari perubahan nilai pasar/harga akan meningkatkan besarnya perubahan rata-rata/harga. Jadi, atas dasar tingkat ketidakpastian dan keragaman pendapat investor tentang implikasi perubahan arus kas, manfaat yang dirasakan dari pengolahan informasi yang mahal/mengandung biaya akan meningkatkan nilai absolut perubahan. Ini berarti bahwa ketika sejumlah investor memutuskan untuk memproses perubahan nilai pasar/harga, akan diikuti meningkatnya informasi sebesar nilai absolut dari perubahan rata-rata/perubahan harga.


Penelitian ini juga berhipotesis bahwa setelah informasi FRR No. 48 tersedia, penilaian investor pada eksposur perusahaan pada perubahan nilai pasar/harga lebih tepat dan homogen daripada periode sebelum FRR No. 48. Dalam model KV, peningkatan ketepatan dan berkurangnya keragaman pendapat cenderung mengurangi manfaat yang dirasakan dari pengolahan informasi untuk setiap tingkat dari perubahan nilai pasar/harga. Dengan demikian, sejumlah investor memilih untuk terlibat dalam pengolahan informasi yang mahal/mengandung biaya dan perdagangan cenderung lebih rendah.

Dasar Pemikiran untuk Fokus pada Volume Perdagangan
Model KV menyiratkan bahwa ketidakpastian dan keragaman pendapat investor dapat mempengaruhi perubahan harga dan ukuran likuiditas pasar, seperti bid-ask spread, disamping volume perdagangan. Selain itu, Barron et.al,. (1998) menyarankan penggunaan properti analis peramalan untuk menguji pengaruh pengungkapan pada ketidakpastian dan keragaman pendapat investor.

Pengujian empiris penelitian ini berfokus pada volume perdagangan daripada ukuran lain (bid-ask-spread) dengan alasan sebagai berikut. Pertama, literatur sebelumnya (Bamber dan Cheon 1995; Barron 1995; Kandel dan Pearson 1995; Bamber et.al, 1997, 1999.) mencatat hubungan yang reliabel antara volume perdagangan dan ketidakpastian dan keragaman pendapat investor (juga disebut perselisihan). Literature tersebut juga mencatat bahwa pertentangan dan/atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan volume perdagangan dapat terjadi tanpa adanya perubahan harga. Sebagai contoh, Bamber dan Cheon (1995) menemukan bahwa pengumuman laba merangsang volume perdagangan yang relatif lebih tinggi terhadap besarnya perubahan harga absolut yang terkait dengan perbedaan yang lebih besar dalam analisis peramalan laba sebelum pengungkapan. Temuan ini menunjukkan bahwa ketidakpastian dan / atau keragaman pendapat investor cenderung berhubungan lebih kuat dengan volume dibandingkan dengan perubahan harga. Kedua, bid-ask spread menyediakan hanya ukuran kasar dari likuiditas pasar (Callahan et.al,. 1997).

Ketiga, karena analis tidak meng-update peramalan laba harian, tidak mungkin untuk menyesuaikan revisi peramalan laba dengan perubahan harian nilai pasar/harga, seperti yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Akhirnya, perubahan nilai pasar/harga dapat mempengaruhi nilai perusahaan dan arus kas masa depan yang diharapkan tanpa mempengaruhi laba periode berikutnya. Sebagai contoh, perubahan nilai pasar/harga dapat mengubah kemungkinan perkiraan nilai transaksi yang terjadi di luar tahun berjalan. Demikian pula, perubahan yang mempengaruhi nilai wajar instrumen keuangan yang dicatat sebesar biaya historis, tidak mampu mendekati revisi peramalan laba kecuali analis tersebut memperkirakan perusahaan akan menjual instrumen dalam waktu dekat. Properti model akuntansi lebih lanjut mengurangi kegunaan peramalan analis dalam setting penelitian ini.

Sebagai alasan, penelitian ini percaya bahwa sensitivitas volume perdagangan pada perubahan nilai pasar/harga adalah ukuran yang paling tepat untuk menguji hipotesis penelitian ini. Penelitian ini tetap mengakui bahwa volume perdagangan adalah noisy proxy untuk ketidakpastian dan keragaman pendapat. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa proxy untuk pertentangan (disagreement) secara signifikan berhubungan dengan volume perdagangan, namun kekuatan penjelas dari model tersebut rendah, dengan R2 kurang dari 20 persen (misalnya Barron 1995; Bamber et.al, 1997, 1999). Selain itu, investor berdagang untuk alasan lain selain ketidakpastian investor atau keragaman pendapat (misalnya, portfolio rebalancing, likuiditas).