<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Permasalahan Data Panel Dengan Variabel Tenggat Terikat

Oct 29, 2011 0 comments
Model data panel yang melibatkan variabel tenggat terikat memiliki beberapa hal yang tidak sesuai dengan asumsi klasik. Salah satu di antaranya adalah adanya autokorelasi akibat keberadaan variabel tenggat Yit yaitu Yit-1 di antara variabel penjelas, dan heterogenitas akibat perbedaan di antara unit analisis yang dalam hal ini adalah bank. Karena Yit merupakan fungsi dari ηi maka Yit-1 juga merupakan fungsi dari ηi sehingga terdapat korelasi antara variabel penjelas dan residual. Hal ini menyebabkan estimator OLS dan estimator-estimator konvensional untuk persaman simultan (termasuk 2SLS) menjadi bias dan tidak konsisten walaupun tidak terdapat korelasi serial dalam uit (Baltagi, 2001: 129-130). Transformasi dengan menggunakan first difference dapat menghilangkan heterogenitas namun tetap menyisakan masalah korelasi antara variabel penjelas dan residual. Dalam kondisi seperti ini, bias tetap terjadi walaupun estimator GLS digunakan. Korelasi tersebut tidak dapat dihilangkan dengan meningkatkan jumlah sampel.

Alternatif lain adalah model dapat diestimasi dengan menggunakan within group estimator (fixed effect) yang mengeliminasi sumber inkonsistensi yang berkenaan dengan penggunaan OLS melalui transformasi persamaan untuk menghilangkan ηi, namun dalam data panel saat jumlah periode yang diteliti tidak terlalu panjang, transformasi ini akan mendorong terjadi korelasi antara variabel tenggat terikat yang telah ditransformasi dan variabel penjelas yang telah ditransformasi. Hal ini dapat menyebabkan bias (Hsiao, 1986). Penambahan jumlah sampel tidak akan menghilangkan korelasi yang terjadi sehingga within group estimator tetap tidak konsisten (Nickell, 1981). Meskipun demikian bias yang terjadi saat periode waktu mendekati tak terhingga akan menghilang. Saat periode waktu meningkat, kontribusi tiap-tiap periode terhadap rata-¬rata individu menjadi kecil mengakibatkan korelasi yang terjadi karena transformasi akan hilang. Oleh karena itu, estimator yang konsisten seharusnya terletak di antara OLS dan within group estimator. Sebagai konsekuensinya, analisis dengan menggunakan Generalized Method of Moment (GMM) diperlukan.

Generalized Method of Moment Difference (GMM-diff) dikembangkan oleh Holtz-Eakin et.al. (1988) dan Arellano dan Bond (1991). Estimator GMM-diff menggunakan persamaan first difference. Transformasi ini akan menghilangkan ηi serta memungkinkan variabel-variabel tenggat endogen pada periode kedua dan sebelumnya untuk menjadi variabel instrumen yang tepat asalkan tidak terdapat korelasi serial pada random error (Oliveira dkk, 2005). Hal itu dapat diuji dengan menggunakan uji untuk korelasi serial untuk residual dalam bentuk first difference. Selanjutnya pada tahun 1998, kelemahan dari estimator GMM-diff mulai dibicarakan lebih lanjut. Jika variabel instrumen yang digunakan lemah, maka parameter yang dihasilkan oleh GMM-diff akan tetap mengalami downward bias.

Untuk mengoreksi kelemahan estimator GMM-diff, maka Blundell dan Bond (1998) mengusulkan agar persamaan dalam first difference harus dikombinasikan dengan persamaan dalam bentuk level agar instrumen yang digunakan harus tetap ortogonal terhadap ηi. Variabel terikat dalam bentuk level seharusnya berkorelasi dengan ηi sehingga memerlukan situasi yang mengijinkan adanya korelasi antara variabel penjelas dan ηi. Selanjutnya Blundell dan Bond (1998) juga menekankan bahwa dalam model autoregressive distributed lag, seri dari first difference dapat tidak berkorelasi dengan ηi asalkan saja seri tersebut memiliki rata-rata yang stasioner. Hal ini menjadikan lagged first difference dapat digunakan sebagai instrumen pada persamaan dalam bentuk level. Ketepatan instrumen yang digunakan dapat diuji dengan Sargan test of overidentifying restrictions.

Value Relevance dan Environmental Accounting

Oct 28, 2011 0 comments
Berawal pada Amir dan Lev (1996), sebagian besar badan literatur akuntansi mengeksplorasi value relevance dari informasi non keuangan. Kesimpulan umum yang berkembang dari penelitian tersebut adalah informasi akuntansi (keuangan) dan investasi fundamental yang terkait seperti arus kas dan laba tidak terpisah menjelaskan variasi dalam return saham. Barth dan McNichols (1994) serta Hughes (2000) berargumen bahwa indikator non keuangan kinerja lingkungan memiliki komponen kewajiban tak tercatat yang dinilai oleh pasar modal. Lebih jauh, Daniel dan Titman (2006) menunjukkan bahwa future earning tidak terkait dengan ukuran akuntansi tradisional dari kinerja masa lalu (seperti earnings dan book values), yang didefinisikan sebagai informasi tangible. Selanjutnya, return saham dijelaskan oleh adanya intangible information tentang kinerja masa depan, yang independen dari kinerja masa lalu.

Partumbuhan gap antara nilai pasar dari saham perusahaan dan nilai bukunya berlanjut menjadi isu penting yang sangat ekstrim dalam perdebatan akademik.Selama beberapa dekade, pertumbuhan yang cepat dari investasi pertanggung jawaban social telah meningkatkan kesadaran investor pada informasi keuangan yang ekstra berkaitan dengan isu environmental, social and governance (ESG) (Renneboog et al., 2008; Brammer et al., 2006). Sejumlah peningkatan studi akademis telah berargumen bahwa informasi ESG membantu investor untuk menilai asset tak berwujud (intangible assets) yang tidak diakui dalam biaya historis berdasar laporan keuangan. Extra-financial information yang diungkapkan melebihi peraturan regulator dan legislasi mencakup kinerja pada nilai penggerak yang berbasis laba keuangan masa depan.

Environmental/social performance mempengaruhi return saham secara langsung melalui penggunaan sumber daya manusia dan materi yang efisien, atau tidak secara langsung melalui image yang positif terhadap nasabah, supplier, dan komunitas (Brammer et al., 2006; Orlitzky et al., 2003). Walaupun literarur pada hubungan antara financial dan environmental/social performance sedang berkembang, terdapat keterbatasan bukti penelitian yang memfokuskan pada penggabungan kembali konstruk corporate environmental/social responsibility dalam rangka mendalami pemahaman ada atau tidaknya nilai pasar perusahaan yang dipengaruhi oleh kriteria non keuangan dan bagaimana keterkaitannya.Oleh karena itu diusulkan bahwa market value perusahaan akan merefleksikan kinerja financial dan nonfinancial environmental/social mereka.

Financial performance tidak berjalan sendiri dalam menjelaskan market value perusahaan, tetapi value relevance dari informasi laporan keuangan dapat dilengkapi jika dikombinasikan dengan informasi environmental/social information yang dihimpun dari opportunities ratings. Dalam instilah research settings, secara berhubungan erat pada studi tentang value relevance dari informasi non-financial environmental dalam Hassel et al. (2005), yang menguji value relevance dari environmental performance sebelum 1990. Hasil mereka mengungkapkan bahwa environmental performance secara negatif berhubungan dengan market value of equity dalam periode waktu dengan menggelembungkan market premiums dalam sektor tertentu.

Dalam studi terdahulu konstruk multidimensi yang mengukur kinerja perusahaan dari dimensi ESG yang luas digunakan (Derwall dan Vermijmeren, 2008; Scholtens dan Zhou, 2008). Pengaruh dari atribut gabungan tersebut adalah bahwa ESG pada level agregat tidak berkaitan dengan ukuran market value measures dan karenanya memfokuskan perhatian pada aspek yang salah dan menghasilkan inferensi yang tidak tepat. Studi ini memberikan bukti empiris dengan menggunakan GES-Investment services opportunity rating selama periode 2000-2010 untuk environmental and social indexes serta subdimensinya.

FINANCIAL DEVELOPMENT AND ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA

0 comments
Economic growth has been becoming dominant orientation in development implementation nearly in almost all countries in the world. Economic growth itself can not be separated from the role of financial system. Some studies empirically prove that there is significant relationship between development of financial system and economic growth. Countries with low earnings usually have a very primitive financial system. By this system, most of the roles of financial sectors are performed by commercial banks. Possibly well financial markets unable don’t grow nor even exist. On the other side, countries with high earnings usually have more complex financial system acting as intermediation among members and various financial trading.

A dynamic and healthy economics requires financial system having a capability to deliver fund efficiently from depositing community to public having productive investment opportunities (Mishkin, 1995). In the theory of Endogeneus Growth presented by Solow it is said that running of good financial system function is expected to push the improvement of physical capital and also human capital (Zulverdi, Syarifuddin, and Prastowo, 2005:1).Hamilton (1781) argues that banks are the best engines which have ever been invented for creating economic growth. Others, however, question wheter finance exerts a first-order, causal impact on economic activity (Robinson 1952; Lucas 1988). However, financial system is claimed not only to be able to implement its functions well, but also to have high resistence.

The history of world economic development wich always teaches economic crisis happening in a country or international scale, always begins with a crisis in financial sector. Like economic crisis knocking Indonesia in 1997, because of the low economic system resistence, Indonesia financial system dominated by banking can not bear the negative impact arising from exchange rate crisis. At the time the level of Indonesian proverty increased 40,3 percent. The level of economic growth in Indonesia decreased 13,1 percent. Since then, Indonesia has been having relatively low economic growth, only around averagely 4,5 percent in a year (Kuncoro, 2009).

Without financial system resistence, economic development process which has been running in long time can fall to pieces in a second. The development of well functioning financial system and with high resistence is a well supporting action for the recovery acceleration of Indonesian economic as a developing country. In 2008 economic growth could achieve 6,1 percent, which is the highest record after economic crisis in 1998 (Kuncoro, 2009). In next five years, the Goverment will stimulate economic growth in a range of 6,3 percent - 6,8 percent a year. To achieve this target, the goverment needs 30 percent the investatment from GDP (Gross Domestic Product). Based on the calculation from Kadin, to achieve the target, the fund needed is afford 2,910 quintillion rupiahs (Sunarsip, 2010).

In relation to that, one of debatable aspects in economic system development is the influence of financial system structure towards economic growth. Some results of researches have proved that monetary system development is closely related with level of investment and economic growth. Various theoretical models (Levine, 1997; Beck et. al., 2001; Wachtel, 2001) explain the relationship between financial system type with level of investment and economic growth. Theoretical model from Dewatripont and Maskin (1995) present that decentralization of economic system, consisting of many small banks, more effectively pushes investment compared to decentralization of financial system, consisting of few big banks. The theory is also supported by Burkhart, Gromb and Panunzi (1997), where concentration of ownership of bank easily influences commitment of investor to push the investment.

Huang and Xu (1999) expresses that big banks give credit concentrated in industry with low level of uncertainty and artificial investment. According to Schumpeter (1911), enterpreneurship and banking are two key sources of economic development. Bankers provides loans to the most productive entrepreneurs who play roles pushing growth. Gerschenkron (1962) submits hypothesis connecting economic "retrogression" with financial. He observes English as pioneer of industrialization, Germany as moderate backwardness and Russia as extreme backwardness. From this classification, Gerschenkron (1962) finds that in English, private companies supply enterpreneurship and capital to banking. In Germany, bank supply enterpreneurship and finance private companies. In Russia, the source of enterpreneurship and financial is supplied by government to private companies. Gerschenkron hypothesis (1962) states that governments of developing countries start and finance industrialization and then banks finance their own financial at the next phase. Taiwan, Korea, Singapore, China and other developing countries possibly follow this evolution for examples.

Although the strong relationship between financial and economic development has been identified by a set of cross country study, the causal relation between both of variables in time series context doesn't grow well, until Patrick research (1966: 174) mentions that there is "improvement of number and varieties of financial institution and substantial increase of not only money proportion but also total of all financial assets to GNP and to tangible wealth" during the time of economic development. Basically, there is a question, if Financial development pushes economic growth, or it simultaneously is influenced by some factors.

Patrick (1966: 174) submits two hypothesis as to test the causality. He defines as "demand following" phenomenon where "forming of modern financial institution, asset, financial leverage and related financial service of the institution is as demand response of services by investor and depositor in real economic". Farther he emphasizes that "in evolutionary, development of financial system is continuation consequence from process having an big effect to economic development." This implicates that economic growth precedes financial development in time series context. On the contrary, Patrick (1966: 175) state that "supply leading" phenomenon as "forming of financial institution and supply asset and related financial leverage and service as the increase of service demand, especially demand of the entrepreneurs at sector influencing growth". Further Patrick (1966: 177-178) explains how supply leading, in financial system can accelerate capital accumulation and economic growth.

First, financial institution can push allocation of total numbers of tangible wealths which is as more efficient (capital in wide meaning), by bringing change in the ownership and in the composition through intermediation among various types of asset holder. Second, financial institution can push allocation of new investment to capital stock which is more efficient from usage that is relatively less productive to be more productive, with intermediation between depositors and entrepreneur investors. Third, they can push improvement of capital accumulation by providing more incentives to deposit, invest and work.

Patrick (1966: 185) concludes that "development of financial system not only accommodates but even pushes growth". In this cognition, Financial development causes economic growth, and implicates that Financial development precedes economic growth in time series context.The endogenous economic new growth theory (Romer, 1986, 1990) has given new motivation to the relation between growth and financial development like models that assuming savings behavior directly influences not only the equilibrium of income but also level of growth (Greenwood and Jovanovic, 1990; Bencivenga and Smith, 1991). Thereby financial market has strong influence in real economic activity. Hermes (1994) states that the financial liberalization and new growth theory basically assumes that financial development pushes economic growth.

Al-Ma'rij

0 comments
Sebuah panggilan setiap saat berkumandang dari langit: “Dan sungguh, Kami benar-benar meluaskannya” (QS. 51: 47). Yang mendengarnya setiap saat, namun bukan dengan telinga? “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang mengabdi, yang bertahmid, yang berjalan (karena Allah), yang ruku’, yang sujud” (QS. 9:112).

Carilah tangga “dari Allah, pemilik Al-Ma’arij (tempat mi’raj)” (QS. 70:3), lalu naiklah! Tangga yang “Al-Malaa’ikat dan Ar-Ruuh naik (kepada-Nya) dalam satu hari.” (QS. 70:4). Siapakah yang sanggup, dari bahan khayalan kita, mampu membuat nyata tangga ke langit itu?

Tangan “Kepada Kami segala sesuatu akan kembali.” -lah yang membuat mereka mi’raj. (QS. 21:93). Ketika pahat sabar dan syukur telah selesai menatah kita, mi’raj-lah, dan ucapkan, “dan itu tak akan diperoleh, kecuali oleh Ash-Shaabiruun.” (QS. 28:80).

Saksikan, siapa sesungguhnya yang memegang pahat-pahat itu. Lalu pasrahkan diri kita dengan gembira!

Jangan kita lawan pahat itu, seperti tali para penyihir Fir’aun (yang menjadi ular), ingatlah nasib mereka yang mengatakan, “dengan kuasa Fir’aun, sungguh kami benar-benar akan menang.” (QS. 26:44). Majulah beberapa langkah lagi, maka kita akan menjadi “Ashabul Yamin (golongan kanan)” (QS. 56:27).

Dan jika kita telah sampai pada batas tertinggi kita, kita adalah “As-Saabiquunas-Saabiquun (yang paling utama dari golongan yang utama)” (QS. 56:10). Jika kita berasal dari tempat para kekasih-Nya di langit, maka datanglah! Dan masuklah ke dalam shaf “Sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf” (QS. 37:165).

Jika kita miskin, tabuhlah genderang “Kemiskinan adalah jubahku”. Jika kita seorang faqih, jagalah agar kita tidak termasuk kedalam “mereka adalah kitam yang la-yafqihuun (tidak memahami)” (QS. 8:65). Jika kita telah menjadi nun yang bertekuk lutut seperti qalam yang bersujud, Maka kita termasuk ke dalam “apa yang mereka tulis” dalam “Nun, demi qalam dan apa yang mereka tulis.” (QS. 68:1).

Jadilah mata yang melihat dalam “kelak kamu akan melihat”, kepada mereka yang ada dalam “mereka pun akan melihat.” (QS. 68:5). Bahkan jika kita “bersikap lunak” bagai penjilat, namun apa artinya itu bagi “mereka yang bersikap lunak (pula kepadamu)?” (QS. 68:9; “Maka mereka ingin agar kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”). Hunjamkan akar kita kuat-kuat, seperti pohon Sidrah yang “tiada keraguan di dalamnya.” (QS. 2:2). Jagalah dedaunan dan batang kita dari goyah karena tiupan nafas “yang kami tunggu-tunggu hingga kecelakaan menimpanya.” (QS. 52:30). Lihatlah kebun yang menjadi arang dalam “malapetaka (yang datang) dari Rabb-mu”, tipu dayanya menghanguskan kebun mereka “ketika mereka sedang tidur.” (QS. 68:19).

Dikutip dari Nargis Virani: “I am the Nightingale of the Merciful”: Rumi’s Use of the Qur’an and Hadith.

Peran Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia

0 comments
Telah diakui dengan baik bahwa perkembangan sektor keuangan dihubungkan kuat dan positif dengan perkembangan ekonomi. Di satu sisi, negara dengan pendapatan rendah biasanya mempunyai sistem finansial yang sangat primitif. Pada sistem ini, sebagian besar peran sektor keuangan ditunjukkan oleh bank komersial. Pasar finansial mungkin kurang berkembang atau tidak ada. Di sisi lain, negara dengan pendapatan tinggi biasanya mempunyai sistem finansial yang lebih kompleks yang bertindak sebagai intermediasi di antara jumlah dan variasi perdagangan keuangan. Beberapa scholar seperti Schumpeter (1911), Patrick (1966), Goldsmith (1969) dan Cameron (1972) telah meneliti fenomena ini.

Dalam opini Schumpeter (1911), kewirausahaan dan perbankan adalah dua sumber kunci perkembangan ekonomi. Bankir menyediakan pinjaman kepada pengusaha yang paling produktif dan memainkan peran yang mendorong pertumbuhan. Gerschenkron (1962) mengajukan hipotesis yang menghubungkan "kemunduran" ekonomi dengan keuangan. Dia mencermati Inggris sebagai pionir industrialisasi, Jerman sebagai moderate backwardness dan Rusia sebagai extreme backwardness. Dari klasifikasi ini, Gerschenkron (1962) menemukan bahwa di Inggris perusahaan swasta mesuplai kewirausahaan dan modal kepada perbankan. Di Jerman, bank menyuplai kewirausahaan dan mendanai perusahaan swasta. Di Rusia, sumber kewirausahaan dan keuangan disuplai oleh pemerintah kepada perusahaan swasta. Hipotesis Gerschenkron (1962) menyatakan bahwa pemerintah negara berkembang memulai dan mendanai industrialisasi kemudian bank mendanai keuangan mereka sendiri pada tahap selanjutnya. Contoh, Taiwan, Korea, Singapura, China dan negara berkembang lainnya mungkin mengikuti evolusi ini.

Implikasi ini menghasilkan kepentingan akademis dalam hubungan antara finansial dan economic development. Dalam buku yang ditulis Goldsmith (1969), dia menggunakan data 35 negara selama periode 1860 sampai 1963 untuk mendokumentasikan beberapa hubungan antara finansial dan economic development. Dia memperkenalkan "financial interrelation ratio" yang didefinisikan sebagai rasio nilai semua aset finansial terhadap nilai semua aset berwujud (kekayaan nasional). Kesimpulan ini dengan perhatian pada hubungan adalah "paralelisme dapat diamati antara ekonomi dan financial development" (Goldsmith, p. 48).

Dalam buku yang diedit oleh Cameron (1972) dia dan kontributor lain menguji masalah pendanaan economic development melalui pengalaman historis sedikit negara. Negara-negara ini meliputi Austria (1800-1914), Italia (1861-1914), Spanyol (1829-1874), Serbia (1878-1912), Jepang (1868-1930), Louisiana (1804-1861) dan Amerika Serikat (1863-1913). Untuk kesimpulan buku ini, Cameron (1972: 25) menulis bahwa "perbankan bebas berkembang sebagai respon permintaan jasanya, dan akan menghasilkan hasil terbaik bagi perekonomian. Pembatasan kebebasan input hampir selalu mengurangi kuantitas dan kualitas jasa finansial yang tersedia untuk ekonomi dan dengan demikian akan menghalangi atau mengganggu pertumbuhan ekonomi".

Meskipun hubungan kuat antara finansial dan economic development telah diidentifikasi oleh perangkat studi cross country, hubungan kausal antara kedua variabel tersebut dalam konteks time series tidak berkembang baik, sampai penelitian Patrick (1966: 174) yang menyebutkan bahwa terdapat “peningkatan jumlah dan varietas institusi finansial dan kenaikan substansial pada proporsi tidak hanya uang tetapi juga total semua aset finansial terhadap GNP dan terhadap kekayaan berwujud” sepanjang waktu dan sepanjang masa economic development. Pada dasarnya, muncul pertanyaan apakah Financial development mendorong pertumbuhan ekonomi, atau mereka secara simultan dipengaruhi beberapa faktor.Patrick (1966: 174) mengajukan dua hipotesis untuk menguji kausalitas. Dia mendefinisikan sebagai fenomena "demand following" dimana "pembentukan institusi finansial modern, aset, utang finansial dan jasa finansial institusi tersebut yang berhubungan adalah sebagai respon permintaan jasa-jasa oleh investor dan penabung di ekonomi riil". Lebih jauh dia menekankan bahwa "secara evolusioner perkembangan sistem finansial adalah konsekuensi lanjutan dari proses yang berpengaruh besar terhadap economic development." Hal ini mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi mendahului Financial development dalam konteks time series.

Sebaliknya, Patrick (1966: 175) menyatakan bahwa fenomena "supply leading" sebagai "pembentukan institusi finansial dan supply asset serta utang dan jasa finansial yang terkait sebagai peningkatan permintaan jasa, khususnya permintaan para pengusaha pada sektor yang mempengaruhi pertumbuhan". Patrick (1966: 177-178) lebih jauh menjelaskan bagaimana supply leading, dalam sistem finansial dapat mengakselerasi akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi.Pertama, institusi finansial dapat mendorong alokasi total jumlah kekayaan berwujud yang lebih efisien (modal dalam arti luas), dengan membawa perubahan dalam kepemilikannya dan dalam komposisinya melalui intermediasi di antara berbagai tipe pemegang aset/asset holder. Kedua, institusi finansial dapat mendorong alokasi investasi baru ke capital stock yang lebih efisien dari penggunaan yang relatif kurang produktif ke arah yang lebih produktif, dengan intermediasi antara penabung dan investor pengusaha. Ketiga, mereka dapat mendorong peningkatan tingkat akumulasi modal dengan menyediakan insentif yang meningkat untuk menyimpan, menginvestasikan dan bekerja.

Patrick (1966: 185) menyimpulkan bahwa "perkembangan sistem finansial tidak hanya mengakomodasi tetapi bahkan mendorong pertumbuhan". Dalam pengertian ini, Financial development menyebabkan pertumbuhan ekonomi, dan mengimplikasikan bahwa Financial development mendahului pertumbuhan ekonomi dalam konteks time series. Banyak studi yang dilatarbelakangi oleh ide dan temuan terdahulu, intisari penelitian ini adalah studi time series pada hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi dan Financial development di Indonesia dengan menguji hipotesis yang diajukan Patrick (1966). Pada dasarya penelitian ini berusaha menguji adanya kausalitas dan jika ada bagaimanakah arah kausalitas tersebut.

Dengan perangkat Granger Causality Test (1969), penelitian ini dapat menguji hipotesis Patrick dan menandai hubungan dinamis antara pertumbuhan ekonomi dan financial development. Seperti Gupta (1984), Jung (1986) dan Thornton (1996) penelitian ini memilih seperangkat variabel finansial dan riil untuk mengimplementasikan pengujian. Tetapi, perlu diketahui bahwa Granger Causality mungkin tidak merefleksikan underlying hubungan kausal atau kausalitas yang didefinisikan oleh filosofi sains. Untuk alasan ini, penelitian ini menginterpretasikan hasil pengujian sebagai pengujian pada preseden, prediktabilitas dan eksogenitas ketat.

Dari ide Granger Causality, penelitian ini menguji apakah perkembangan historis sektor finansial mempunyai kemampuan prediktif signifikan secara statistik untuk pertumbuhan ekonomi sekarang atau sebaliknya. Jika Financial development masa lalu menyebabkan pertumbuhan ekonomi sekarang dalam arti Granger, menunjukkan adanya kausalitas supply leading. Jika pertumbuhan ekonomi masa lalu menyebabkan Financial development sekarang maka menunjukkan bahwa terdapat kausalitas demand following. Definisi ini mempunyai analogi hipotesis Patrick. Jika terdapat dua tipe kausalitas secara simultan maka dapat dikatakan adanya hubungan feedback antara mereka. Ketika terdapat kedua tipe kausalitas, maka dikatakan bahwa hubungan tersebut adalah independen.

Pada literatur ekonometrik time series, terdapat beberapa bentuk Granger Causality Test. Disamping bentuk Granger (1969), penelitian ini juga menggunakan bentuk Sim (1972), guna menguji robustness hasil uji dalam perubahan bentuk uji. Karena Granger Causality Test sensitif dengan panjang lag, frekuensi data, stasionaritas data dan information set, penelitian ini mengimplementasikan dengan mengubah faktor-faktor ini untuk menunjukkan robustness hasil uji.

Selanjutnya, penelitian ini memperluas bivariate test ke multivariate test dengan menggunakan VAR model yang dianjurkan Sim (1980). Dalam konteks multivariate, penelitian ini mengimplementasikan banyak pengujian seperti Granger Causality pada VAR, block exogeneity test, dan instantaneous causality test dan analysis of innovations. Pada analisis inovasi, kami menunjukkan analysis of variance decomposition dan implse response. Dengan perangkat Granger Causality Test pada VAR, penelitian ini dapat mengecek robustness hasil dari konteks bivariate ketika seperangkat variabel diubah. Melalui block exogeneity test, penelitian ini menguji apakah variabel finansial sebagai block Granger mempengaruhi variabel riil sebagai sebuah block dan sebaliknya. Seperti pada instantaneous causality test, pengujian penting untuk strict exogeneity test dan determinasi ordering pada analisis inovasi.

Penelitian ini menggunakan variance decomposition untuk mengukur konsekuensi jangka panjang Granger Causality. Itu semua untuk pengukuran konten prediktif jangka panjang variabel finansial untuk variabel riil pada jangka panjang dan sebaliknya. Untuk mengilustrasikan respons dinamis variabel riil pada innovation variabel finansial, analysis of impluse response ditunjukkan dengan plotting responses. Melalui permutasi ordering, dapat dinvestigasi konsistensi dinamic response.

Karena definisi Granger Causality pada penelitian ini berdasarkan pada asumsi stasionaritas, univariate analysis tiap variabel fokus pada pengujian akar unit. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, kondisi ekonomi mungkin pada transitional path ke steady state. Selain itu, negara berkembang mungkin menghadapi beberapa perubahan struktural dan cenderung menjadi mudah (vulnerable) terkena dampak guncangan harga minyak. Beberapa index structural change dan harga minyak digunakan untuk menguji robustness hasil pengujian.

Di samping hasil uji statistik, juga akan direview evolusi Financial development dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tanpa review tersebut, hasil pengujian tidak akan memuat konten ekonomi yang besar. Secara khusus, kebijakan pemerintah dan karakteristik institusional memainkan peran penting dalam mempengaruhi hasil pengujian. Pengaruh ini mungkin telah diteliti pada historical review.

CREDIT MATURITY DAN PERTUMBUHAN EKONOMI: TINJAUAN SINGKAT

0 comments
Sebuah literatur teoritis dan empiris yang besar tentang financial development dan pertumbuhan ekonomi telah terbangun bahwa finance mempunyai pengaruh kausal yang positif, signifikan secara statistik, dan besar secara ekonomis pada pertumbuhan ekonomi dan sumbernya (Levine 2005). Secara teoritis, pengaruh ini meningkat melalui beberapa channel yang dirangkum oleh Levine (2005) dalam 5 kategori. Sistem finansial meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi karena:1) memproduksi informasi tentang investasi yang mungkin dan mengalokasikan modal, (2) memonitor investasi dan menerapkan corporate governance setelah memberikan pendanaan, (3) memfasilitasi trading, diversifikasi, dan manajemen risiko, (4) memobilisasi dan menggabungkan tabungan, dan (5) mempermudah pertukaran barang dan jasa. Pada dasarnya, financial development dapat didefinisikan sebagai seberapa besar sistem finansial menjalankan fungsi-fungsi ini dengan baik.

King and Levine (1993) mencatat bahwa dalam pandangan ahli ekonomi seperti Goldsmith (1969), McKinnon (1973), and Shaw (1973) “perbedaan-perbedaan kuantitas dan kualitas jasa yang disediakan oleh institusi keuangan dapat menjelaskan mengapa negara tumbuh pada tingkat yang berbeda/differences in the quantity and quality of services provided by institusi keuangan could partly explain why countries grow at different rates.” Tetapi, literatur empiris yang menginvestigasi pengaruh pertumbuhan bank lending hanya memfokuskan pada kuantitas jasa daripada kualitas jasa yang disediakan oleh sektor perbankan. Literatur mendasarkan pada asumsi yang dibuat Goldsmith (1969) dimana size sistem finansial adalah ukuran yang baik kuantitas dan kualitas fungsi yang disediakan sistem keuangan. Levine (2005) bahkan mengakuiOrganisasi bukti empiris menyatakan kelemahan penting pada literatur finance and growth: sering ada hubungan yang tidak cukup tepat antara teori dan pengukuran. Teori fokus pada fungsi tertentu yang disediakan sektor keuangan, [sedangkan literatur empiris] menyinggung proksi untuk financial development (Levine 2005).

Lebih jauh, Beck and Levine (2004) mencatat bahwa idealnya, peneliti akan membangun ukuran cross-country seberapa baik bank menunjukkan aktivitas mereka. Penulis juga mencatat bahwa “ekonom, bagaimanapun, belum mampu mengukur secara akurat jasa keuangan ini … [dan] konsekuensinya, peneliti secara tradisional menggunakan ukuran overall size sektor perbankan.” Levine (1999) mencatat bahwaIdealnya seseorang ingin membangun ukuran fungsi tertentu yang disediakan oleh sistem keuangan. Yaitu, seseorang ingin mempunyai ukuran komparatif kemampuan sistem keuangan untuk mencapai perusahaan dan mengidentifikasi usaha yang menguntungkan/profitable ventures, mendorong corporate control, me-manage risiko, memobilisasi tabungan, dan mempermudah transaksi. Pengukuran yang lebih akurat ketentuan jasa-jasa ini di berbagai single country akan menjadi luar biasa sulit; melakukannya untuk cross-section negara yang luas akan menjadi tidak mungkin. (Levine 1999)

Studi ini mengontribusi arah dengan menggali salah satu saluran yang mana financial development meningkatkan pertumbuhan ekonomi–ketentuan likuiditas dan perbaikan risiko likuiditas. Secara khusus, disertasi memberikan bukti empiris untuk fungsi transformasi likuiditas yang ditunjukkan oleh bank, yang menjadi bagian dari 3 fungsi pada kategorisasinya Levine yang dibahas di atas. Disertasi menunjukkan bahwa pengaruh aktivitas sektor perbankan pada pertumbuhan ekonomi bergantung pada fungsi transformasi likuiditas yang ditunjukkan oleh bank. Disertasi menjelaskan faktor-faktor apa yang menentukan seberapa besar sistem perbankan menunjukkan liquidity transformation, dan melihat bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebelum beralih ke bukti empiris dan ke literatur tentang determinan liquidity transformation, pada penelitian ini me-review literatur teoritis yang berhubungan dengan fungsi transformasi likuiditas bank terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Review ini akan membantu dalam memformulasikan hipotesis empiris tentang hubungan ini.

Levine (1997) mendefinisikan likuiditas sebagai “kemudahan dan kecepatan dengan agen dapat mengubah aset ke dalam kekuatan pembelian pada tingkat harga yang disepakati” dan risiko likuiditas sebagai risiko yang “muncul karena ketidakpastian yang dihubungkan dengan aset yang diubah ke dalam medium of exchange.” Likuiditas mungkin dihalangi berbagai informational asymmetries seperti juga biaya transaksi serta financial intermediari dan pasar muncul untuk memperbaiki masalah ini. Levine menjelaskan bahwa sebuah sistem yang menyediakan likuiditas dengan baik akan meninggalkan ketidakpastian yang kecil tentang timing dan settlement of contracts (penyelesaian kontrak), dan kontrak akan menjadi murah untuk diperdagangkan.

Lebih jauh, Levine (1997; 2005) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan erat dengan liquidity provision function dari sistem keuangan. Hubungan muncul “karena beberapa proyek high-return membutuhkan komitmen modal yang panjang, tetapi penabung tidak suka melepaskan kontrol tabungan mereka untuk periode yang lama.” Oleh karena itu, sistem keuangan memainkan peran penting karena dia membuat dana penabung individual lebih likuid, sedangkan dia menginvestasikan porsi dana ke dalam investasi jangka panjang yang tidak likuid.Levine (1997) mengutip bukti historis yang didapat Hicks (1969) untuk mendukung klaim ini. Menurut Hicks, pengembangan pasar modal yang memitigasi risiko likuiditas adalah sebab utama revolusi industri di Inggris. Investor individual dapat memegang liquid assets tetapi pada waktu yang sama sistem keuangan mengubah “instrumen finansial likuid ini ke dalam investasi jangka panjang pada proses produksi yang tidak likuid.” Karena revolusi industri Inggris membutuhkan komitmen besar modal untuk periode yang lama, Levine (1997) menyatakan “revolusi industri mungkin tidak terjadi tanpa liquidity transformation ini.”

Bencivenga and Smith (1991) merumuskan ide ini dalam sebuah model pertumbuhan ekonomi. Pada model mereka, institusi keuangan muncul untuk memenuhi kebutuhan likuiditas agen ekonomi individu ketika pengalokasian proporsi tabungan ekonomi yang lebih besar pada investasi jangka panjang dibandingkan pada kasus financial autarky. Model mengadopsi kerangka Diamond and Dybvig (1983) tentang sebuah ekonomi yang dihuni agen yang tidak pasti dengan kebutuhan likuiditas ke depan pada waktu mereka membuat keputusan alokasi modal. Kerangka ini disatukan dengan model pertumbuhan featuring eksternalitas investasi modal dimana produksi bergantung pada level modal perusahaan individual seperti juga societal capital level, seperti dalam Romer (1986). Pertumbuhan ekonomi ditingkatkan dengan kehadiran institusi keuangan karena mereka mengalokasikan proporsi tabungan ekonomi dalam proporsi besar ke proyek jangka panjang dengan produktivitas tinggi.Secara khusus, ada 2 tabungan assets: satu adalah liquid asset yang jatuh tempo lebih awal tetapi return yang kurang pada konsumsi barang daripada illiquid asset. Return yang tinggi pada illiquid asset menangkap gagasan siklus produksi yang rendah investasi produktivitas tinggi, seperti juga periode panjang pada produksi modal, seperti yang dibahas oleh Böhm-Bawerk (1891), Cameron (1967), and Kydland and Prescott (1982). Tetapi, jika illiquid asset dilikuidasi sebelum dia jatuh tempo, nilai likuidasi lebih rendah dari return liquid asset.

Preferensi individual tentang konsumsi dimodelkan seperti dalam Diamond and Dybvig (1983) sehingga agen mungkin mengalami kebutuhan likuiditas di berbagai periode dengan beberapa kemungkinan. Jika agen telah menginvestasikan porsi tabungan mereka dalam long-term assets dan dihadapkan dengan kebutuhan likuiditas, agen menguangkan pegangan long-term asset mereka. Mereka mengkonsumsi jumlah yang tersedia setelah likuidasi, plus hasil dari investasi jangka pendek mereka. Konsumsi lebih rendah dibandingkan dengan kasus ketika semua tabungan dialokasikan ke aset low-return tetapi likuid (dengan kata lain, investasi jangka pendek).

Dalam kondisi ini, agen menginvestasikan proporsi yang besar tabungan mereka pada liquid asset mengurangi dana yang tersedia untuk illiquid capital dengan produktivitas yang tinggi. Institusi keuangan muncul sebagai kelompok individual investors yang menggabungkan tabungan mereka. Institusi keuangan dapat memenuhi kebutuhan likuiditas anggota individualnya dengan menjaga cadangan yang diinvestasikan pada liquid asset. Tetapi, institusi keuangan dapat menjaga fraksi total tabungan yang lebih kecil pada liquid assets dibandingkan dengan kasus financial autarky ketika agen individual mengalokasikan tabungan mereka antara aset likuid dan aset tidak likuid. Dengan aturan jumlah besar, kebutuhan likuiditas dapat diprediksi pada level agregat sehingga institusi keuangan dapat menjaga cadangan hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi agregat kebutuhan likuiditas itu. Oleh karena itu, dengan institusi keuangan, porsi tabungan yang lebih besar dialokasikan ke long-term illiquid assets yang menaikkan pertumbuhan ekonomi.Ini hanya penjelasan sederhana dan singkat tentang hasil pada Bencivenga and Smith (1991), karena paper mencari sejumlah kesempatan tambahan dan memberikan hasil tambahan yang menarik. Ketika tabungan diijinkan untuk bervariasi dengan atau tanpa bank, penelitian ini melihat bahwa hasil teoritis bersifat ambigu. karena pendapatan dan pengaruh substitusi bekerja pada arah yang berlawanan, perbaikan risiko likuiditas yang meningkat mungkin mengurangi tabungan.

Jappelli and Pagano (1994) menunjukkan bahwa likuiditas yang meningkat dapat menyebabkan bunga tabungan jatuh cukup untuk menurunkan keseimbangan pertumbuhan. Bahkan ketika tabungan jatuh dengan keberadaan financial intermediaries, pengaruh keseluruhan pada pertumbuhan dapat menjadi positif jika intermediari memberikan porsi yang lebih besar (yang lebih kecil) tabungan untuk long-term credit, dengan kata lain, jika long-term credit lebih besar di bawah intermediari daripada di bawah autarky, meskipun kredit keseluruhan menjadi lebih tinggi di bawah autarky. Sebagai tambahan, hasil empiris yang melihat pengaruh intermediasi keuangan pada tabungan telah ditunjukkan bahwa intermediasi keuangan mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak ada pengaruh pada tabungan. Karena itu, asumsi intermediasi keuangan yang tidak mempunyai pengaruh pada tabungan sejalan dengan penelitian empiris yang menunjukkan tidak ada pengaruh yang kuat secara ekonomi dan signifikan secara statistik.

Bangunan pada Bencivenga and Smith (1991), Greenwood and Smith (1997) menunjukkan bahwa intermediasi keuangan yang disediakan bank perlu untuk meningkatkan pertumbuhan, sedangkan pada model aslinya intermediasi keuangan adalah pendorong pertumbuhan di bawah beberapa asumsi yang lemah. Lebih jauh, Greenwood and Smith (1997) mengutip dari Hicks (1969) and North (1981) mencatat bahwa “teknologi baru dapat digunakan hanya dengan ‘menghubungkan” investasi skala besar pada illiquid capital untuk periode yang lama.” Dengan menyediakan likuiditas dengan cara yang efektif sektor keuangan dapat meningkatkan investasi pada inovasi, akumulasi modal dan pertumbuhan.

Catatan bahwa proses produksi dapat memakan waktu yang lama, tidak pasti dan subyek guncangan, Holmstrom and Triole (1998) berpendapat bahwa akses kredit selama produksi mengurangi risiko likuidasi prematur dan meningkatkan insentif untuk investasi pada proyek periode lama dan higher-return. Model mereka, bagaimanapun, tidak memberikan hubungan formal antara ketetapan likuiditas dan pertumbuhan ekonomi seperti pada Bencivenga and Smith (1991). Kondisi sebaliknya, Aghion et al. (2005) menunjukkan bahwa inovasi dan pertumbuhan jangka panjang akan naik pada ekonomi yang mengalami guncangan makroekonomi tetapi perusahaan mempunyai akses ke kredit selama keseluruhan proses produksi. Prediksi ditegaskan secara empipris dengan menunjukkan bahwa financial development mengurangi adverse growth effects dari volatilitas makroekonomi. Tetapi, mereka tidak menginvestigasi data tentang jatuh tempo kredit.

Meskipun argumen meyakinkan yang telah dibahas di atas, gagasan bahwa long-term credit baik untuk pertumbuhan/growth tidak diterima secara universal. Sissoko (2006) mengombinasikan peran moneter dan finansial dari intermediari ke dalam model pertumbuhan dengan pembagian kerja. Model membolehkan agen untuk membeli dan menjual hambatan cash-in-advance yang memberikan kenaikan untuk pertumbuhan yang meningkatkan short-term credit. Model memprediksi bahwa short-term credit meningkatkan pertumbuhan, tetapi penulis tidak menguji prediksi ini untuk “kekurangannya data tentang credit maturity.”

Penelitian teoritis lainnya dimana short-term lending sebagai growth-enhancing adalah kerangka signalling Flannery (1986): perusahaan tidak terkait dengan reevaluasi oleh pasar kredit (perusahaan yang baik) akan meminjam dengan jangka pendek, sedangkan perusahaan yang takut reevaluasi (perusahaan yang buruk) akan ingin meminjam dengan jangka panjang. Karena itu, kredit jangka pendek dapat mempunyai pengaruh positif pada pertumbuhan karena kredit jangka pendek yang berlebih mengimplikasikan investasi yang lebih efisien. Tetapi, ini berlaku jika tidak ada komunikasi langsung antara peminjam dan pemberi pinjaman dan signalling hanyalah bentuk komunikasi.

Masih dalam kerangka signalling, Titman (1992) memperkenalkan setting yang lebih realistis (ketidakpastian suku bunga dan financial distress cost) yang mendorong perusahaan yang baik untuk menggabungkan long-term equilibrium, meskipun harapan mereka meminjam dengan jangka pendek. Lebih jauh, Diamond (1991) menunjukkan bahwa perusahaan yang baik meminjam jangka pendek dan jangka panjang karena ini membolehkan mereka untuk mengambil keuntungan dari berita baik ketika risiko likuiditas yang rendah.

Ada teori lain yang menyatakan bahwa long-term credit dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan kemungkinan krisis keuangan. Ennis and Keister (2003) menampilkan sebuah model dimana long-term credit menguntungkan baik untuk pertumbuhan dan “pencegahan krisis”. Penulis membangun sebuah endogenous growth model dimana bank runs mempengaruhi pasar modal dan output secara permanen. Model mereka mirip dengan Bencivenga and Smith karena konsumen mempunyai penggunaan yang mirip dan bank dapat memilih antara kesempatan investasi yang sama. Jika bank menjaga portfolio mereka lebih tidak likuid, ini menaikkan expected payoff kepada investor dan mempengaruhi mereka untuk menunggu sampai proyek jangka panjang lengkap. Ini menurunkan kemungkinan run. Hasilnya, penulis mencatat bahwa pada model mereka “tidak ada tradeoff antara pertumbuhan dan stabilitas … [karena] portfolio yang kurang likuid membawa pertumbuhan yang lebih tinggi dengan bank run yang lebih sedikit.”Dalam menyimpulkan bukti empiris yang menghubungkan liquidity provision dan pertumbuhan ekonomi, Levine (2005) mencatat bahwa “pengisolasian fungsi likuiditas ini dari fungsi finansial lainnya yang ditunjukkan oleh bank, bagaimanapun, telah terbukti sangat sulit.” Karena kesulitan ini, penelitian fokus pada pengaruh likuiditas satu sekuritas pada harganya. Levine mencatat, “studi security-level tentang hubungan antara likuiditas sekuritas individual dan harganya, bagaimanapun, tidak menghubungkan likuiditas dengan tingkat pertumbuhan jangka panjang nasional.”

Karena itu, bukti empiris lebih terbatas dan hanya fokus pada liquidity provision dengan pasar modal, sedangkan literatur yang menghubungkan liquidity transformation function bank dan credit maturity terhadap pertumbuhan ekonomi masih teoritis. Ini tidak mengejutkan karena data tentang credit maturity tidak tersedia. Menurut argumen Bencivenga and Smith (1991), penelitian ini mengumpulkan data cross country tentang maturity of bank credit ke sektor swasta. Bencivenga and Smith (1991) berpendapat bahwa long-term credit mendorong pertumbuhan. Menarik prediksi teoritis ini, pengujian disertasi ini yaitu apakah prediksi teoritis ini berlaku. Sebagai tambahan, penelitian ini menarik literatur sebelumnya dan menginvestigasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi porsi kredit yang diberikan sebagai kredit jangka panjang.

SEKTOR KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI: SEBUAH KAUSALITAS

1 comments
Hipotesis Patrick (1966) mengidentifikasi terdapat dua kemungkinan hubungan kausal antara sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Hubungan kausal yang pertama disebut “demand following”, yang memandang demand untuk jasa keuangan sebagai dependen dalam growth of real output, commercialization, modernisasi agrikultur serta sektor yang memberi penghidupan lainnya. Jadi pembentukan institusi keuangan, aset dan utang berhubungan dengan jasa keuangan adalah sebuah respon terhadap demand oleh investors dan penyimpan dalam ekonomi riil (Patrick, 1966: 174).

Hubungan kausal kedua antara peran sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi diistilahkan “supply leading” oleh Patrick (1966). “Supply leading” mempunyai dua fungsi: untuk mentransfer sumber daya traditional low-growth sectors ke modern high-growth sectors dan untuk meningkatkan serta menstimulasi respon yang berkaitan dengan wirausaha (entrepreneurial response) (Patrick, 1966: 175). Hal ini mengimplikasikan bahwa pembentukan institusi keuangan dan jasa-jasa keuangan terjadi karena adanya kenaikan permintaan terhadap peralihan sektor tersebut. Ketersediaan jasa keuangan menstimulasi permintaan akan jasa tersebut oleh para pengusaha dalam modern growth-inducing sectors.

Kemunculan yang selanjutnya disebut teori endogenous economic new growth (Romer, 1986, 1990) telah memberikan dorongan baru terhadap hubungan antara pertumbuhan dan perkembangan keuangan seperti model-model yang mengasumsikan bahwa perilaku tabungan secara langsung mempengaruhi tidak hanya keseimbangan tingkat income tetapi juga tingkat pertumbuhan (Greenwood and Jovanovic, 1990; Bencivenga dan Smith, 1991).

Dengan demikian pasar keuangan mempunyai pengaruh kuat dalam aktifitas ekonomi riil. Hermes (1994) menyatakan bahwa teori financial liberalization dan teori new growth pada dasarnya mengasumsikan bahwa financial development mendorong pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, Murinde dan Eng (1994: 393) serta Luintel dan Khan (1999: 383) menyatakan bahwa sejumlah model endogenous growth menunjukkan hubungan dua arah (two-way relationship) antara financial development and economic growth. Jelas terlihat bahwa perdebatan pada arah kausalitas antara financial development and economic growth tetap terjadi, meskipun adanya kemunculan teori new growth. Hubungan bi-directional antara economic growth and financial development inilah yang melatar-belakangi studi ini.

Oleh karena itu, permasalahan dalam penelitian ini sesuai dengan hipotesis Patrick (1966) adalah apakah sektor keuangan menyebabkan pertumbuhan ekonomi ataukah pertumbuhan pertumbuhan ekonomi menyebabkan pertumbuhan sektor keuangan. Dari ide Granger Causality, maka terdapat kemungkinan bahwa perkembangan historis sektor finansial mempunyai kemampuan prediktif signifikan secara statistik untuk pertumbuhan ekonomi sekarang atau sebaliknya. Jika Financial development masa lalu menyebabkan pertumbuhan ekonomi sekarang dalam arti Granger, menunjukkan adanya kausalitas supply leading. Jika pertumbuhan ekonomi masa lalu menyebabkan Financial development sekarang maka menunjukkan bahwa terdapat kausalitas demand following. Definisi ini mempunyai analogi hipotesis Patrick. Jika terdapat dua tipe kausalitas secara simultan maka dapat dikatakan adanya hubungan feedback antara mereka. Ketika terdapat kedua tipe kausalitas, maka dikatakan bahwa hubungan tersebut adalah independen.

BANK RUNS

Oct 27, 2011 0 comments
Putaran krisis ekonomi dan keuangan global paska kehancuran Lehman Brothers menimbulkan kekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global, termasuk industri perbankan di Indonesia. Di berbagai negara, aliran dana dan kredit terhenti, transaksi dan kegiatan ekonomi sehari-hari terganggu. Aliran dana keluar (capital outflow) terjadi besar-besaran. Indonesia yang saat krisis tidak memberlakukan penjaminan dana nasabah secara menyeluruh, menderita capital outflow lebih parah dibanding negara-negara tetangga yang menerapkan penjaminan dana nasabah secara penuh (blankeet guarantee). Aliran dana keluar itu membuat likuiditas di dalam negeri semakin kering dan bank-bank mengalami kesulitan mengelola arus dananya (Bank Indonesia: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, 2010).

Situasi krisis ketika itu berdampak pada bank-bank berskala besar di Indonesia. Pada bulan Oktober 2008, terdapat tiga bank besar BUMN yakni Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BRI meminta bantuan likuiditas dari Pemerintah masing-masing sebesar 5 (lima) triliun rupiah. Total dana untuk menginjeksi ketiga bank tersebut sebesar 15 (lima belas) triliun rupiah. Dana tersebut bersumber dari uang pemerintah yang berada di Bank Indonesia. Bantuan likuiditas itu dipakai untuk memperkuat cadangan modal bank atau memenuhi komitmen kredit infrastruktur tanpa harus terganggu likuiditasnya. Maksud dari adanya bantuan likuiditas pemerintah ini agar ketiga bank pemerintah tadi tidak perlu mencari pinjaman dari luar negeri.

Ketika bank pemerintah yang secara umum mempunyai risiko kegagalan permasalahan likuiditas lebih kecil dari bank non pemerintah (swasta), maka akan sangat memungkinkan permasalahan serupa juga terjadi pada bank non pemerintah. Berdasar data dari statistik perbankan Indonesia, bank-bank swasta menengah dan kecil yang mengalami penurunan dana simpanan masyarakat. Dana itu lari ke luar negeri atau bank-bank besar, bahkan sampai ada nasabah yang menarik simpanan pada safe deposit box karena takut banknya ditutup. Kesulitan bank-bank menengah-kecil itu semakin diperparah ketika salah satu sumber pendanaan yang biasanya sangat didanalkan, yakni dana antar bank atau Pasar Uang Antar Bank (PUAB), berhenti mengalir atau macet.

Terdapat potensi kerentanan apabila terjadi flight to quality atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah-kecil akan mengalami kesulitan likuditas (Kajian Stabilitas Keuangan, 2009).

Kenyataan pahit tersebut masih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas aset-aset yang dipegang bank. Hal ini pada akhirnya akan memukul modal bank, karena surat-surat berharga yang dikuasai bank seperti Surat Utang Negara (SUN) nilainya merosot tajam. Di lain pihak, kenaikan yield atau penurunan harga SUN telah menyebabkan penurunan nilai aset bersih dalam neraca bank, asuransi, dana pensiun, dan reksadana yang memiliki SUN. Penurunan nilai aset menimbulkan kerugian yang selanjutnya menggerus kecukupan modal (CAR) lembaga keuangan tersebut.

Pada sisi lain, indek tekanan perbankan (Banking Pressure Index) yang dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute serta indek stabilitas keuangan (Financial Stability Index) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia masuk dalam ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan terhadap sistem perbankan yang cukup tinggi dan potensi terjadinya kegagalan (default) yang sangat besar.

Grafik 1.1.
Banking Pressure Index Indonesia
Sumber: Danareksa Institute, 2009.

Kondisi ambang batas juga dapat dilihat pada indek stabilitas keuangan (Financial Stability Index) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Kedua indikator ini menunjukkan sistem perbankan dan sistem keuangan nasional dalam keadaan genting.
Grafik 1.2.
Financial Stability Index
Sumber: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, 2010.

Sementara itu, lemahnya pasokan dana di masyarakat, membuat industri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana (rupiah dan valas) yang mereka miliki guna mengantisipasi munculnya kewajiban seperti penarikan dana tunai deposan secara mendadak. Guna mempertahankan penghimpunan dana, Bank memberikan promosi untuk mempertahankan dana masyarakat melalui penawaran tingkat suku bunga tinggi khususnya deposito (dari 6 persen menjadi 12 persen per tahun). Perang bunga antar bank pun semakin tidak terhindarkan. Situasi ini akan berdampak pada kenaikkan tingkat bunga kredit yang memberatkan dunia usaha (Bank Indonesia: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia.
Grafik 1.3.
Perkembangan Kredit dan DPK Perbankan

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2009.

Dalam kondisi biaya dana (cost of funds) yang semakin mahal, tiada pilihan bagi bank-bank untuk memangkas laba usaha mereka guna mempertahankan eksistensi keberlangsungan usaha dalam dunia perbankan nasional. Bila merujuk data statistik BI per Desember 2008, laba bank-bank umum setelah pajak mengalami penurunan tajam dibandingkan dengan perolehan laba sebulan sebelumnya (Nopember) yang membukukan sebesar Rp 30,61 triliun. Penurunan laba ini terutama disebabkan beban biaya (cost of funds) yang semakin tinggi.

Selain itu, sumber pemicu kerugian serta risiko kegagalan bank lainnya adalah transaksi valuta asing, terutama dolar AS. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS periode September ke Desember 2008 berakibat pada transaksi valuta asing perbankan. Ketika rupiah melemah sebagai imbas dari krisis global, hal tersebut akan sangat memukul sisi permodalan serta kas bank. Dalam suasana seperti itu, tingkat kepercayaan nasabah bank pun goyah yang diperlihatkan dengan aksi runs. Di tengah situasi krisis, sebuah isu kecil dapat menjadi pemicu dan pemacu sebuah krisis besar seperti yang terlihat pada aksi runs nasabah pasca penutupan 16 (enam belas) bank di tahun 1997/1998. Bank runs terjadi jika sebagian besar nasabah menarik dananya sesegera mungkin karena kekhawatiran bahwa bank tidak dapat membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu. Penarikan dana secara bersamaan tersebut dapat menimbulkan permasalahan kekurangan likuiditas bagi bank dan pada lanjutannya dapat menimbulkan kebangkrutan bank. Selain itu, bank runs yang terjadi pada salah satu bank dapat menimbulkan negative externality terhadap perbankan secara keseluruhan, yaitu dapat menjalar dengan cepat ke bank lainnya (contagion effect) atau systemic risk (Simorangkir, 2006).

Fenomena bank runs sebenarnya bukan terjadi pada akhir-akhir ini saja, melainkan telah terjadi sejak manusia memperkenalkan sistem perbankan modern. Kejadian bank runs dan bank panics terjadi di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Selain itu, bank runs dan bank panics tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi terdapat kecenderungan pengulangan di beberapa negara. Menurut Kemmerer (1910) dalam Simorangkir (2006), antara tahun 1890 dan 1908 terdapat 21 kejadian bank panics di Amerika Serikat (AS).

Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa antara tahun 1981 hingga tahun 1992 kembali terjadi banking crisis. Krisis perbankan di negara-negara lain juga menunjukkan fenomena yang sama. Menurut Demirguc-Kunt dan Detragiachhe (1997) setidaknya terdapat 29 negara yang mengalami krisis perbankan pada era di atas tahun 1980-an.

Sementara itu, Indonesia juga mengalami pola yang sama. Pada tahun 1992, beberapa perbankan Indonesia pernah mengalami bank runs dan terakhir pada tahun 1997/1998 merupakan krisis perbankan terparah dalam sejarah perbankan nasional. Bank runs yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1997 tidak jauh berbeda dengan negara lainnya dan bahkan dalam beberapa hal krisis perbankan yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang lebih parah terhadap perekonomian. Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 merupakan akibat dari kebijakan Pemerintah untuk menutup 16 bank pada November 1997. Di tengah tidak adanya asuransi deposito dan jaminan Pemerintah, kebijakan ini telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Kepanikan masyarakat telah mendorong terjadinya penarikan-penarikan tunai dana perbankan yang cukup besar dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat. Sebagai akibatnya, beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan sumber utama pemasok dana juga ikut terkena dampak krisis kepercayaan tersebut sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank (PUAB) (Kurniati dan Permata, 2009).

Menurut Kurniati dan Permata (2009), kepanikan seperti itu membuat bank-bank cenderung menahan likuiditas, baik rupiah maupun valuta asing (valas), untuk keperluan likuiditasnya masing-masing. Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan likuiditas yang cukup. Lebih mengerikan lagi, jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai kegagalan bank dalam settlement kliring/real time gross settlement (RTGS), hal ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bank runs.

Kondisi ini diperparah lagi dengan depresiasi nilai tukar rupiah yang cukup besar sehingga kewajiban valuta asing bank membengkak cukup besar. Berbagai perkembangan ini tidak saja memperlemah kondisi likuiditas bank, tetapi juga memperlemah rentabilitas dan solvabilitas bank. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya kredit yang tergolong tidak lancar dan turunnya rentabilitas bank. Walaupun bank runs di Indonesia telah berlangsung tujuh tahun yang lalu, dampaknya masih dirasakan sampai saat ini. Fungsi intermediasi perbankan saat ini masih belum berjalan normal, walaupun Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah penyehatan perbankan seperti restrukturisasi perbankan yang menyeluruh.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa bank runs dan bank panics dapat terjadi pada suatu negara. Hal ini dimaklumi karena bank merupakan lembaga kepercayaan yang berfungsi menghimpun dana dari surplus unit dan menyalurkannya ke defisit unit dalam bentuk kredit (financial intermediation). Sesuai dengan sifatnya, bank cenderung menempatkan dana dengan jangka waktu yang relatif panjang dibandingkan dengan jangka waktu sumber dananya (liquidity missmatch). Untuk meminimalkan biaya, bank cenderung akan memegang alat likuid yang tidak menghasilkan, seperti kas. Dalam hal terjadi penarikan dana besar-besaran (bank runs) karena ketidakpercayaan terhadap bank maka bank akan mengalami kesulitan likuiditas dalam memenuhi penarikan nasabahnya. Ketidakmampuan bank dalam memenuhi penarikan nasabahnya akan mendorong nasabah lain untuk menarik dananya sehingga semakin memperburuk kondisi keuangan bank.

Beberapa penelitian teoritis dan empiris menunjukkan bahwa penyebab bank runs beragam sesuai dengan kondisi suatu negara. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa faktor self-fullfilling prophecy merupakan penyebab utama dari bank runs. Sementara itu, penelitian lain menyimpulkan faktor fundamental ekonomi dan kinerja bank lebih dominan sebagai penyebab dari bank runs. Selain itu, terdapat juga penelitian yang menyimpulkan bahwa penyebab atau determinan bank runs adalah kombinasi dari semua faktor, yaitu self-fullfilling prophecy, fundamental bank dan makro ekonomi. Fundamental bank yaitu kondisi dari dalam (intern) bank tersebut yang meliputi aspek likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas.

Kondisi keuangan bank yang buruk akan mengakibatkan bank tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas nasabah dan selanjutnya kondisi tersebut akan mengurangi kepercayaan terhadap bank. Ketidakpercayaan terhadap bank akan mendorong nasabah menarik dananya secara bersamaan dan selanjutnya dapat menimbulkan risiko sistemik ke bank lainnya/banking crisis(D’amato, et.al, 1997).

Kondisi makro ekonomi merupakan faktor-faktor eksternal dan bersifat makro berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar bank dan mempengaruhi semua bank sehingga tidak dapat dikendalikan oleh bank. Inflasi dan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan dalam mempengaruhi bank runs. Kondisi tersebut dapat terjadi karena peristiwa bank runs bersifat shock temporer sementara fundamental ekonomi merupakan variabel keputusan yang digunakan pengelola bank dalam jangka dimensi waktu yang lebih panjang dari dimensi waktu bank runs (Simorangkir, 2006).

Secara institusional, penutupan hampir separuh jumlah bank di Indonesia pada tahun 1997 yaitu sebanyak 16 bank dilikuidasi dan 45 lainnya bermasalah, tahun 1999 sebanyak 38 bank ditutup, tahun 2004 Bank Dagang Bali dan Bank Aspac dilikuidasi, tahun 2005 Bank Global ditutup, bulan April 2009 Bank Indonesia mencabut ijin usaha Bank IFI Pada semester II 2008 terdapat 2 (dua) permasalahan di perbankan yang banyak mendapat perhatian. Yang pertama adalah pengambil alihan Bank Century oleh LPS dan yang kedua adalah penutupan Bank Indover (Bank Indonesia: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, 2010).

Penelitian teoritis telah banyak dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya bank runs, tetapi penelitian empiris dengan menggunakan data individual bank sangat jarang dilakukan karena terdapatnya keterbatasan data karena ketentuan kerahasian bank. Misalnya, Demirguc-Kunt dan Detrigiache (1997) menggunakan pendekatan multivariate logistic dengan menggunakan data panel negara-negara maju dan berkembang. Penelitian dengan menggunakan data individual bank dilakukan oleh D’amato, et.al. (1997) untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi bank runs pada tahun 1995 di Argentina.

Penelitian bank runs di Indonesia dilakukan oleh Sugema (2003) dengan menggunakan model logit dari bank yang solvent dan insolvent. Hasil penelitian, walaupun tidak konklusif, menunjukkan bahwa krisis perbankan di Indonesia karena faktor fundamental dan nasib buruk (bad luck). Penelitian lainnya dilakukan oleh Sugiarto (2003), tetapi penelitian ini lebih menekankan kepada pengaruh contagion krisis keuangan suatu negara terhadap negara lainnya, khususnya krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simorangkir (2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan dana pihak ketiga dan pertumbuhan kredit berpengaruh signifikan terhadap bank runs. Sementara itu, komponen rentabilitas (ROA), permodalan (CAR), LDR serta komponen makro ekonomi yaitu inflasi, indeks produksi, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (USD) secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap bank runs.

Teori penyebab bank runs karena proses self-fulfilling telah lama dikenal dalam pustaka bank runs. Friedman dan Schwartz (1963) mengemukakan bahwa panik terutama berasal dari ketidakpercayaan terhadap sektor perbankan. Panik yang terjadi pada sistem perbankan mengakibatkan nasabah menarik dananya. Model ini didasarkan atas teori Nash equilibrium ketika economic agent akan menarik dananya secara besar-besaran karena mereka percaya bahwa seluruh populasi akan mengalami bank runs dan hal ini merupakan strategi optimal. Akan tetapi, model yang dikemukakan di sini tidak menjelaskan bagaimana bank runs terjadi. Model ini lebih bersifat sunspot (exogenous) models.

Selanjutnya Diamond dan Dybvig (1983) mengembangkan model Friedman dan Schwartz (1963). Model yang dikembangkan oleh Diamond dan Dybvig tersebut merupakan model yang sangat penting dan berpengaruh luas dalam model bank runs. Hasil tersebut mengemukakan bahwa bank runs yang terjadi merupakan respon rasional dari keyakinan nasabah. Jika nasabah berpikir bahwa bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi penarikan nasabah, maka bank runs akan terjadi. Sesuatu bank akan menghadapi penarikan besar-besaran jika cukup banyak individual yang percaya bahwa nasabah lainnya juga akan menarik dananya. Sehubungan dengan informasi yang tidak lengkap maka bank sehat juga dapat terkena bank runs jika pada bank tidak sehat terjadi penarikan dana besar-besaran (bank runs). Dengan demikian, bank runs yang terjadi akibat dari terdapatnya multiple equilibria.

Mengingat dampak bank runs di Indonesia cukup parah dan berlangsung cukup lama, maka penelitian mengenai bank runs merupakan suatu pekerjaan yang menantang. Di samping itu, penelitian mengenai bank runs masih sangat terbatas karena banyaknya hambatan dalam mendapatkan data yang lengkap mengenai kondisi keuangan perbankan sebagai akibat terbentur pada undang-undang kerahasian bank. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugema (2003), Demirguc-Kunt dan Detragiache (1997) dan D’Amato et.al. (1997), penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model panel data dinamis dengan menggunakan dana pihak ketiga sebagai proxy dari variabel bank runs, faktor fundamental bank dan makro ekonomi sebagai variabel independen.


Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Sektor Riil

0 comments
UMKM telah memberikan kontribusi yang penting dan besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat Indonesia. Karena itu, pemberdayaan dan pengembangan yang berkelanjutan perlu dilakukan agar UMKM tidak hanya tumbuh dalam jumlah tetapi juga berkembang dalam kualitas dan daya saing produknya. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan UKM yang dianggap berhasil adalah melalui pendekatan kelompok. Dalam pendekatan kelompok, dukungan (baik teknis maupun keuangan) disalurkan kepada kelompok UKM bukan per individu UKM. Pendekatan kelompok diyakini lebih baik karena (1) UKM secara individual biasanya tidak sanggup menangkap peluang pasar dan (2) Jaringan bisnis yang terbentuk terbukti efektif meningkatkan daya saing usaha karena dapat saling bersinergi. Bagi pemberi dukungan, pendekatan kelompok juga lebih baik karena proses identifikasi dan pemberdayaan UKM menjadi lebih fokus dan efisien. Dari kasus berhasil (success story) yang ditemui, pengembangan UKM dalam kelompok berhasil meningkatkan kapasitas daya saing usaha UKM, mengoptimalkan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam setempat, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan nilai tambah UKM.

Kajian literatur awal menunjukkan bahwa di masa lalu telah terdapat program pengembangan UKM berbasis kelompok yang dilakukan dalam kerangka program pemerintah seperti melalui (1) extension workers, (2) penyediaan motivator kepada kelompok usaha, (3) pemberian dukungan teknis melalui unit pelayanan teknis dan BDS, (4) pelaksanaan trade fairs untuk mengembangkan jejaring pemasaran UKM, (5) pembuatan trading house, dan lain-lain. Beberapa nama juga telah dikaitkan dengan model pendekatan kelompok ini misalnya: Sentra UKM, Klaster, Perkampungan Industri Kecil (PIK), Lingkungan Industri Kecil (LIK), Enclave, Agropolitan dan lain sebagainya. Lembaga/Instansi yang melaksanakan upaya ini pun beragam, mulai dari Pemerintah melalui Departemen-Departemen dalam pemerintahan hingga kelompok-kelompok masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat.

Kementerian Negara Koperasi dan UKM secara intensif melaksanakan pengembangan UKM melalui pendekatan kelompok ini sejak akhir tahun 2000 dengan didirikannya BPS-KPKM dan dilaksanakannya program Sentra UKM pada tahun 2001. Di beberapa negara yang menjadi rujukan, Klaster bisnis telah menjadi mekanisme yang ampuh untuk mengatasi keterbatasan UKM dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan UKM dan perusahaan besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional, semuanya akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster. Berbeda dengan Jaringan Bisnis yang merupakan sistem tertutup yang ditujukan untuk mengembangkan proyek bersama, Klaster bisnis merupakan suatu sistem terbuka yang melibatkan lebih banyak pelaku dan merupakan kelompok perusahaan yang saling terhubung dan berdekatan secara geografis dengan institusi-institusi terkait dalam suatu bidang tertentu.

Pembentukan klaster menjadi isu yang penting karena (sekali lagi) secara individual UKM seringkali tidak sanggup menangkap peluang pasar yang membutuhkan jumlah volume produksi yang besar, standar yang homogen dan penyerahan yang teratur. UKM seringkali mengalami kesulitan mencapai skala ekonomis dalam pembelian input (seperti peralatan dan bahan baku) dan akses jasa-jasa keuangan dan konsultasi. Ukuran kecil juga menjadi suatu hambatan yang signifikan untuk internalisasi beberapa fungsi pendukung penting seperti pelatihan, penelitian pasar, logistik dan inovasi teknologi; demikian pula dapat menghambat pembagian kerja antar perusahaan yang khusus dan efektif secara keseluruhan fungsi-fungsi tersebut merupakan inti dinamika perusahaan.

Beberapa contoh keuntungan yang dapat ditarik dari sebuah kerjasama dalam klaster adalah:
  • Melalui kerjasama horisontal, misalnya bersama UKM lain menempati posisi yang sama dalam mata rantai nilai (value chain) secara kolektif perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui jangkauan perusahaan kecil secara individual, dan dapat memperoleh input pembelian curah, mencapai skala optimal dalam penggunaan peralatan dan mengabungkan kapasitas produksi untuk memenuhi order skala besar.
  • Melalui integrasi vertikal (dengan UKM lainnya maupun dengan perusahaan besar dalam mata rantai pasokan), perusahaan-perusahaan dapat memfokuskan diri ke bisnis intinya dan memberi peluang pembagian tenaga kerja eksternal.
    Kerjasama antar perusahaan juga memberikan kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan.
  • Terakhir, jaringan bisnis diantara perusahaan, penyedia jasa layanan usaha (misal institusi pelatihan, sentra teknologi, dan lain-lain) dan perumus kebijakan lokal, dapat mendukung pembentukan suatu visi pengembangan lokal bersama dan memperkuat tindakan kolektif untuk meningkatkan daya saing UKM.
Dengan demikian Klaster bisnis dapat menjadi alat yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran UKM dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar yang semakin kompetitif.

Integritas Klien dan Keyakinan Audit

Oct 11, 2011 0 comments
Kasus tertangkap tangan pejabat auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap Rp 272 juta, dianggap telah melukai integritas dan kredibilitas BPK dimata publik (Arif Nuralam, 2010, Direktur Eksekutif Indonesia Budgeting Center/IBC). Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya masalah integritas dan standar penilaian integritas bagi auditor, termasuk akuntan professional (Mawar Saron, 2008), dan penguatan integritas para pejabat publik jelas tidak bisa ditunda lagi (Azyumardi Azra, 2008).

Kasus tersebut sebenarnya menyangkut integritas kedua belah pihak, baik bagi auditor maupun bagi kliennya (Libby, 1981). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2010) menyebutkan bahwa, untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap akuntan harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin, karena (1) integritas mendasari timbulnya pengakuan professional, (2) Integritas tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip, (3) Integritas adalah bentuk standar teknis dan etika, (4) Integritas adalah prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional. Ketika auditor akan memulai suatu rangkaian audit, penilaian integritas klien seharusnya menjadi pertimbangan utama (COSO, 2004), karena integritas merupakan elemen utama dalam pengendalian intern.

Demikian juga Muatz dan Sharaf (1961) menyebutkan bahwa penilaian perilaku klien akan mempengaruhi strategi audit, walaupun rendahnya integritas klien tidak selalu menimbulkan masalah penipuan (Bernardi, 2000). Evaluasi bukti adalah bagian fundamental setiap audit, kompleks dan vital dalam proses pengambilan keputusan, auditor membutuhkan pertimbangan mengenai kualitas dan kuantitas bukti sesuai dengan kriteria yang ditetapkan seperti kecukupan, kompetenssi dan biaya (Lin, et.al., 1984). Sampai saat ini, auditor tetap pada pendirian awal bahwa objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti adalah inti dari audit (Ulfert Gronewold, 2003). Chow et.al., (1987), Van Peursem dan Pratt (1993), dan Kelly (1991) menemukan bahwa, evaluasi integritas klien dianggap oleh auditor sebagai salah satu langkah yang paling sulit dalam proses audit.

Namun studi lain menunjukkan bahwa integritas klien tidak signifikan dalam proses pengambilan keputusan, termasuk Kaplan dan Reckers (1984) dan Wright (1992). Studi Reckers dan Shultz (1993) juga menunjukkan bahwa auditor secara individu tidak mungkin lebih berhati-hati terhadap potensi adanya penipuan. Kurangnya kehati-hati ini dapat terjadi karena auditor tidak sepenuhnya mengintegrasikan informasi tentang penipuan dalam perkiraan mereka tentang kemungkinan untuk penipuan yang ada (Joyce dan Biddle, 1981). Friedberg et.al.,(1989) meneliti kepentingan relatif dari faktor-faktor kualitatif dan kuantitatif ketika menilai batas materialitas, mereka menemukan faktor-faktor kualitatif yang harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi materialitas yaitu integritas manajemen.

Ponemon dan Gabhart (1993) menemukan bahwa integritas klien terkait dengan penilaian resiko auditor. Anderson dan Marchant (1989) mempelajari hubungan antara penilaian auditor atas kemungkinan penipuan dan penilaian risiko menggunakan integritas klien. Mereka menemukan bahwa, ketika membuat penilaian mengenai integritas dan kemampuan (ability) klien, perilaku positif (negatif) mempunyai nilai diagnostik yang lebih besar. Demekian juga, ketika memberikan penilaian perilaku positif dan negatif pada integritas klien, auditor akan berkonsentrasi pada perilaku negatif, sedangkan perilaku positif digunakan dalam evaluasi kemampuan (ability) klien. Joyce and Biddle (1981), mengontrol evaluasi integritas manajemen terjadi dalam tahap perencanaan audit.

Bernardi (1994a) menyatakan bahwa auditor membuat hipotesis tentang integritas klien selama tahap perencanaan audit. Selama audit, auditor harus menggunakan temuan mereka untuk melakukan revisi, mendukung atau menolak dugaan awal mereka tentang integritas klien. Bernardi (1994a) menemukan bahwa manajer terdeteksi penipuan pada tingkat yang lebih tinggi ketika ditemukan informasi tentang tinggi atau rendah integritasnya. Bernardi (1994a) menyarankan bahwa manajer yang moralnya tinggi, mungkin lebih mampu merevisi perkiraan risiko mereka sebelumnya, ketika diberi data yang bertentangan dengan perkiraan awal tentang integritas klien mereka dan deteksi penipuan.

Faktor yang dapat mempengaruhi hasil evaluasi bukti audit adalah kehandalan atau credibility sumber bukti, apakah bukti dari sumber yang berbeda atau yang bersifat berbeda adalah konsisten, dan interaksi antara keduanya ( Hirst,1994), baik sumber bukti internal maupun bukti eksternal serta konsistensi bukti dari sumber yang berbeda tersebut. Jenny Goodwin (1999), menyebutkan integritas dievaluasi sebagai tinggi atau rendah berkaitan dengan bukti yang diberikan oleh sumber. Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kaplan dan Reckers,1984; Bernardi,1994; Peecher,1996) telah memeriksa respon auditor terhadap integritas manajemen klien dalam berbagai situasi, hasil studi tidak signifikan. Peecher (1996) menemukan bahwa integritas manajemen mempengaruhi penerimaan distorsi penjelasan klien.

Bernardi (1994) menemukan bahwa sebagian besar auditor tampaknya tidak peduli dengan integritas klien ketika mengevaluasi kemungkinan salah saji dalam neraca. Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan bahwa kredibilitas adalah derajat dimana sumber atau saluran komunikasi dianggap sebagai dapat dipercaya dan kompeten oleh penerima secara objektif. Joyce dan Biddle (1981) menemukan bahwa auditor sensitif terhadap objektivitas bukti. Sementara Hirst (1994) menemukan interaksi antara kompetensi dan objektivitas merupakan faktor signifikan, hanya ketika kompetensi sumber tinggi. Sedangkan, sampai saat ini, belum ada studi tentang sensitivitas auditor terhadap integritas, selain integritas manajemen (Jenny Goodwin,1999). Hasil studi Bernardi (1994) juga menunjukkan bahwa auditor tidak sensitif terhadap integritas klien dalam tugas deteksi penipuan. Jenny Goodwin (1999), secara khusus, menyarankan studi lebih lanjut tentang interaksi antara integritas sumber, konsistensi bukti dan independensi sumber.

Pernyataan Standar Audit (SAS) 82 (AICPA, 1997) mensyaratkan bahwa auditor harus mendokumentasikan penilaian mereka tentang risiko penipuan. Selain itu, auditor juga harus peka tentang syarat untuk mendokumentasikan faktor menentukan risiko audit. Auditor pada awal atau sebelum melakukan pemeriksaan akan mengantisipasi dan mengevaluasi integritas klien, karena tingkat keyakinan akan integritas klien tersebut akan memberikan arahan guna penyesuaian program pemeriksaan dan potensi resiko yang mungkin akan diterima serta keyakinan akan keabsahan bukti yang akan dikumpulkan.

Bernardi (1997) mempelajari hubungan antara auditor, penilaian terhadap kemungkinan penipuan dengan integritas klien. Pada peringkat rendah (tinggi) meningkatkan integritas (penurunan) estimasi kemungkinan penipuan terdeteksi (tidak mendeteksi) oleh auditor. Dua efek tidak terduga terjadi sehubungan dengan probabilitas penipuan: (1) auditor pada kelompok integritas yang tinggi, yang terdeteksi penipuan, nilai probabilitas lebih tinggi dari kelompok kontrol dan (2) probabilitas perkiraan penipuan auditor dalam kelompok rendah, yang tidak mendeteksi penipuan, ada lebih tinggi dari kelompok kontrol auditor.

Goodwin (1999), menggunakan integritas auditor untuk menentukan sensitivitas terhadap sumber informasi audit, dan menyatakan bahwa integritas sumber informasi adalah variabel yang paling signifikan. Indah (2001), menemukan bahwa penilaian tentang integritas klien baru, yang negatif terkait dengan penilaian auditor pada tingkat risiko usaha untuk klien. Demikian pula, Ayers dan Kaplan (2003) menemukan bahwa penilaian terhadap risiko keterlibatan mengenai penerimaan klien baru secara bermakna dikaitkan dengan persepsi tentang integritas klien. Dan Johnstone serta Bedard (2004) menemukan bahwa persepsi integritas klien dikaitkan dengan keputusan tentang apakah akan menerima klien baru serta melanjutkan atau menghentikan jasa audit kepada klien tersebut.

Studi yang menguji hubungan antara penilaian auditor eksternal terhadap integritas manajemen, dan penilaian auditor terhadap risiko kekeliruan, perencanaan audit dan penemuan salah saji laporan keuangan, menunjukan terdapat hubungan antara integritas manajemen, perencanaan audit dan resiko audit (Dwight, Kizirian dan Brian, 2003). Demikian juga dengan Mock & Wright (1999) bahwa resiko audit mempunyai hubungan dengan perencanaan audit, sehingga auditor perlu penyesuaian keputusan mereka berdasarkan bukti tentang integritas manajemen (Beaulieu, 2001).

Penilaian integritas adalah komponen penting dari keputusan penerimaan klien baru (Ayers dan Kaplan 1998; Asare et al, 1994). Demikian juga setelah klien baru diterima, yaitu dalam tahap perencanaan, pertimbangan bila integritas klien di bawah normal, maka diperlukan penyesuaian tentang pengumpulan bukti audit, resiko audit, termasuk biaya audit. Integritas manajemen merupakan faktor penentu utama struktur resiko klien, sehingga auditor perlu memasukkan komponen resiko ke dalam penilaian audit (Dwight, Kizirian dan Brian, 2003). Ketika integritas manajemen dinilai rendah, maka auditor perlu memperbanyak bukti eksternal, demikian sebaliknya ketika integritas manajemen dinilai tinggi, diharapkan resiko dinilai pada tingkat yang lebih rendah.

Berdasar perspektif di atas, maka studi ini dimaksudkan membuktikan bagaimana pengaruh integritas terhadap bukti audit dan keyakinan audit (audit belief) dengan mediasi penilaian resiko audit dan bukti audit. Dewan Pengawas Perusahaan Akuntansi Publik (PCAOB 2007), menekankan kembali pentingnya penilaian risiko di bidang audit, karena, jika praktek audit gagal untuk menilai risiko klien secara tepat, kesimpulan yang keliru mungkin terjadi.

Penilaian risiko dengan menggunakan fungsi keyakinan secara potensial lebih informatif dibandingkan mereka yang menggunakan probabilitas (Hironori dan Mock, 2011). Ketika auditor berencana untuk menerima klien baru, yang penting mendapat perhatian adalah integritas klien, karena integritas akan mempengaruhi kemungkinan resiko yang dihadapi yaitu risiko penipuan dan kredibilitas sumber (Beaulieu, 2001). Penilaian integritas yang negatif secara tidak langsung terkait dengan penilaian bukti audit dan rekomendasi biaya (Beaulieu, 2001). Audit integritas juga merupakan petunjuk yang menyediakan informasi bagi auditor dalam menganalisis risiko dalam akuntansi sektor publik (Kathleen, 2008).

/ --- < Beberapa dikutip dari Rancangan Proposal Penelitian Jusmi Amit, SE., MBA., M.Si. > --- /

Permasalahan Data Panel Dengan Lag Dependent

0 comments
Model data panel yang melibatkan variabel tenggat terikat memiliki beberapa hal yang tidak sesuai dengan asumsi klasik. Salah satu di antaranya adalah adanya autokorelasi akibat keberadaan variabel tenggat Yit yaitu Yit-1 di antara variabel penjelas, dan heterogenitas akibat perbedaan di antara unit analisis yang dalam hal ini adalah bank. Karena Yit merupakan fungsi dari ηi maka Yit-1 juga merupakan fungsi dari ηi sehingga terdapat korelasi antara variabel penjelas dan residual. Hal ini menyebabkan estimator OLS dan estimator-estimator konvensional untuk persaman simultan (termasuk 2SLS) menjadi bias dan tidak konsisten walaupun tidak terdapat korelasi serial dalam uit (Baltagi, 2001: 129-130). Transformasi dengan menggunakan first difference dapat menghilangkan heterogenitas namun tetap menyisakan masalah korelasi antara variabel penjelas dan residual. Dalam kondisi seperti ini, bias tetap terjadi walaupun estimator GLS digunakan. Korelasi tersebut tidak dapat dihilangkan dengan meningkatkan jumlah sampel.

Alternatif lain adalah model dapat diestimasi dengan menggunakan within group estimator (fixed effect) yang mengeliminasi sumber inkonsistensi yang berkenaan dengan penggunaan OLS melalui transformasi persamaan untuk menghilangkan ηi, namun dalam data panel saat jumlah periode yang diteliti tidak terlalu panjang, transformasi ini akan mendorong terjadi korelasi antara variabel tenggat terikat yang telah ditransformasi dan variabel penjelas yang telah ditransformasi. Hal ini dapat menyebabkan bias (Hsiao, 1986). Penambahan jumlah sampel tidak akan menghilangkan korelasi yang terjadi sehingga within group estimator tetap tidak konsisten (Nickell, 1981). Meskipun demikian bias yang terjadi saat periode waktu mendekati tak terhingga akan menghilang. Saat periode waktu meningkat, kontribusi tiap-tiap periode terhadap rata-¬rata individu menjadi kecil mengakibatkan korelasi yang terjadi karena transformasi akan hilang. Oleh karena itu, estimator yang konsisten seharusnya terletak di antara OLS dan within group estimator. Sebagai konsekuensinya, analisis dengan menggunakan Generalized Method of Moment (GMM) diperlukan.

Generalized Method of Moment Difference (GMM-diff) dikembangkan oleh Holtz-Eakin et.al. (1988) dan Arellano dan Bond (1991). Estimator GMM-diff menggunakan persamaan first difference. Transformasi ini akan menghilangkan ηi serta memungkinkan variabel-variabel tenggat endogen pada periode kedua dan sebelumnya untuk menjadi variabel instrumen yang tepat asalkan tidak terdapat korelasi serial pada random error (Oliveira dkk, 2005). Hal itu dapat diuji dengan menggunakan uji untuk korelasi serial untuk residual dalam bentuk first difference. Selanjutnya pada tahun 1998, kelemahan dari estimator GMM-diff mulai dibicarakan lebih lanjut. Jika variabel instrumen yang digunakan lemah, maka parameter yang dihasilkan oleh GMM-diff akan tetap mengalami downward bias.

Untuk mengoreksi kelemahan estimator GMM-diff, maka Blundell dan Bond (1998) mengusulkan agar persamaan dalam first difference harus dikombinasikan dengan persamaan dalam bentuk level agar instrumen yang digunakan harus tetap ortogonal terhadap ηi. Variabel terikat dalam bentuk level seharusnya berkorelasi dengan ηi sehingga memerlukan situasi yang mengijinkan adanya korelasi antara variabel penjelas dan ηi. Selanjutnya Blundell dan Bond (1998) juga menekankan bahwa dalam model autoregressive distributed lag, seri dari first difference dapat tidak berkorelasi dengan ηi asalkan saja seri tersebut memiliki rata-rata yang stasioner. Hal ini menjadikan lagged first difference dapat digunakan sebagai instrumen pada persamaan dalam bentuk level. Ketepatan instrumen yang digunakan dapat diuji dengan Sargan test of overidentifying restrictions.