Integrity Theory, Probative Value dan Audit Risk Integrity Theory, Probative Value dan Audit Risk | EUREKA
<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Integrity Theory, Probative Value dan Audit Risk

Penilaian integritas manajemen meliputi nilai-nilai etika ke dalam pengungkapan penuh dan kewajaran informasi keuangan dan ketika integritas manajemen yang dinilai tinggi, diharapkan resiko yang akan dinilai pada tingkat yang lebih rendah (Sneathen dan Brian, 2003). Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan bahwa integritas adalah derajat dimana sumber atau saluran komunikasi dianggap sebagai dapat dipercaya dan kompeten oleh penerima secara objektif. Joyce dan Biddle (1981) menemukan bahwa auditor seharusnya sensitif terhadap objektivitas bukti. Sementara Hirst (1994) menemukan interaksi antara kompetensi dan objektivitas merupakan faktor signifikan hanya ketika kompetensi sumber dinilai tinggi.

Lebih lanjut Hirst (1994) menyebutkan bahwa, faktor yang dapat mempengaruhi hasil evaluasi bukti audit adalah kehandalan atau kredibilitas sumber bukti itu, apakah bukti dari sumber yang berbeda atau yang bersifat berbeda adalah konsisten, dan interaksi antara keduanya, baik sumber bukti internal maupun bukti eksternal serta konsistensi bukti dari sumber yang berbeda tersebut. Sedangkan Jenny Goodwin (1999), menyebutkan integritas dievaluasi sebagai tinggi atau rendah berkaitan dengan bukti yang diberikan oleh sumber bukti.

Evaluasi bukti adalah bagian fundamental setiap audit. Ini adalah elemen yang kompleks dan vital dalam proses pengambilan keputusan, auditor membutuhkan pertimbangan mengenai kualitas dan kuantitas bukti sesuai dengan kriteria yang ditetapkan seperti kecukupan, kompetenssi dan biaya (Lin et.al., 1984).

Berkaitan dengan hal itu, Jenny Goodwin (1999), meneliti tentang sensitivitas auditor terhadap integritas sumber bukti, konsistensi bukti dan interaksi antara kedua faktor tersebut, yang hasilnya menyebutkan, integritas, konsistensi dan interaksi keduanya, signifikan dalam menjelaskan penilaian auditor dan hanya faktor integritas adalah penentu signifikansi dari penilaian auditor yang dengan demikian menyediakan wawasan lebih lanjut tentang dampak integritas manajemen terhadap keputusan audit.

Integritas klien tidak hanya berdampak pada penilaian auditor tentang risiko kesalahan laporan keuangan, juga dampak evaluasi auditor terhadap kredibilitas sumber saat memeriksa bukti audit yang diberikan oleh klien (Beaulieu 2001). Dan integritas klien dapat memberikan penjelasan tambahan dalam memprediksi sifat prosedur audit (Sneathen, dan Brian, 2003).

Sementara studi Kaplan dan Reckers (1984); Bernardi (1994); Peecher (1996), telah memeriksa respon auditor terhadap integritas manajemen klien dalam berbagai situasi, hasil penelitian ini menemukan bahwa integritas manajemen mempengaruhi penerimaan distorsi penjelasan klien. Bernardi (1994) menemukan bahwa sebagian besar auditor tampaknya tidak sensitif dengan integritas klien ketika mengevaluasi kemungkinan salah saji dalam neraca.

Integritas klien mempengaruhi risiko kecurangan, terutama dalam kasus klien baru, dan ketika auditor melihat integritas klien rendah, auditor dapat meningkatkan jumlah bukti audit yang dikumpulkan, sehingga biaya audit yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penilaian integritas klien diharapkan dapat dihubungkan dengan risiko bisnis, sejauh bukti-bukti audit, dan akhirnya biaya audit karena kekhawatiran tentang penipuan (Beaulieu, 2001).

Kualitas audit, diukur dengan kebenaran penilaian persuasive atas bukti, secara langsung tergantung pada apakah bukti yang digunakan untuk merekonstruksi realitas yang relevan sesuai nilai keabsahan bukti tersebut (David Flint, 1988 dalam Ulfert Gronewold, (2006). Sejalan dengan itu, standar auditing yang profesional menyebutkan bahwa bukti audit harus cukup dan memadai (relevan dan handal) untuk memberikan dasar memadai untuk audit opinion (ISA 500, 2005). Relevan dan kehandalan bukti dokumen, terkait erat dengan nilai keabsahan bukti (Caster, 1996).
Flint (1988) menunjukkan: teori bukti audit merupakan inti dari teori audit.

Pengembangan kerangka teori membutuhkan identifikasi dan analisis karakteristik bukti audit dan interpretasi teori probabilitas dan statistik inferensi dalam kaitannya dengan nilai persuasif dari berbagai jenis bukti audit. Auditor menggunakan bukti audit untuk menarik kesimpulan tentang realitas yang relevan, yang tidak dapat diamati lagi. Seberapa baik pengakuan yang benar dari realitas yang relevan dapat dicapai dengan nilai keabsahan bukti, yang pada gilirannya tergantung pada akurasi dari bukti dan proses pembuatan bukti serta evaluasi kognitif oleh auditor (Ulfert Gronewold, 2006).

Kekuatan bukti direpresentasikan secara eksklusif dengan konsep "nilai keabsahan" bukti, sehingga untuk menilai keabsahan bukti memerlukan tahapan (1) auditor menerima bukti dari sumber. (2) mengetahui sumber pengolahan bukti, (3) karakteristik bukti sendiri, (4) membangun laten yang harus dievaluasi oleh auditor dan (5) meminta informasi lisan tentang situasi pembuatan bukti (Ulfert Gronewold, 2006).

Integritas dan Perilaku
Integritas perilaku (Tony Simons, 2002) berasal dari sifat seseorang, menggambarkan pola persepsi keselarasan antara kata-kata dan perbuatan, dimana waktu sekarang dianggap sifat yang menarik dari masa lalu. Dweck & Leggett (1988) menyatakan bahwa ada dua tipe manusia: (1) penganut teori entitas dan (2) penganut teori inkremental. Penganut teori entitas membentuk kesimpulan kuat dari perilaku yang diamati yang dipakai untuk memperkirakan perilaku mendatang. Sedangkan penganut teori inkremental tak menyimpulkan ciri khas dari perilaku, dan karena itu, tidak berusaha memperkirakan perilaku mendatang.

Teori integritas, berkaitan dengan kejujuran, sedangkan kejujuran adalah kenyamanan jenis tertentu yang biasanya timbul dari melihat kebelakang, tindakan dari waktu ke waktu yang mempertahankan keutuhan diri (Lewis, 1995b; Tangey, 1990). Kejujuran diri dikuatkan ketika “diri-sekarang” menghormatinya, ketika terdapat pilihan untuk tidak menghormatinya, suatu keterikatan yang dibuat oleh “diri-masa-lalu.” Tindakan sekarang untuk menghormati tidak mempunyai arti tanpa mangacu pada konteks, yaitu keterikatan atau janji yang dibuat oleh diri-masa-lalu ketika diri-sekarang bisa melanggar, (Khalil, 2004).

Integritas tekait dengan masalah menjaga diri tetap utuh dan tidak menjadi rusak dan berkenaan peragaan kekuatan kemauan adalah suatu hubungan tertentu antara niat seseorang dengan tindakan yang sesuai: yaitu suatu masalah bertindak dengan niat berhubung dengan adanya hambatan serius terhadap tindakan (Leanne Olson, 2008). Studi yang mengkaji apakah teori integritas bisa menjelaskan perbedaan antara pertimbangan dan keputusan auditor intern, hasilnya integritas dapat pertimbangan dan keputusan yang diambil dalam ketidak-pastian tentang hubungan antara petunjuk dengan kejadian” (Libby 1981, 4).

Teori Integritas (Dweck & Leggett 1988) adalah suatu teori dari literatur psikologi sosial yang menguraikan mengapa orang-orang yang berbeda (yaitu, para pengamat) menafsirkan hubungan berbeda antara petunjuk dan kejadian yang berhubungan dengan perilaku mereka yang diamati. Teori integritas menyatakan ada dua tipe manusia dikategorikan menurut bagaimana anggapan yang mendasari seseorang mempengaruhi pertimbangan: (1) penganut teori entitas dan (2) penganut teori inkremental (Stephanie F.Watson, 2004).

Ketika mempertimbangkan suatu ciri khas pribadi tertentu, misalnya, kecerdasan, moralitas, para penganut teori entitas membentuk kesimpulan kuat dari perilaku yang diamati yang dipakai untuk memperkirakan perilaku mendatang. Seorang penganut teori entitas beranggapan bahwa ciri khas pribadi tertentu berbeda antara orang perorang, tetapi di dalam seseorang tertentu tetap konstan. Seseorang yang memegang teori entitas tentang kejujuran; yaitu, ia beranggapan bahwa sementara seseorang mungkin memperlihatkan kejujuran yang lebih atau kurang dari orang lain, kejujuran seseorang adalah konstan dan tidak berubah sepanjang waktu. Karena itu, bila seseorang, mengamati seseorang memperlihatkan kejujuran rendah, ia akan beranggapan bahwa orang itu mempunyai kejujuran rendah, dan akan memakai anggapan untuk memperkirakan bahwa orang itu akan berlaku serupa diwaktu mendatang.

Ketika mempertimbangkan ciri khas pribadi yang sama, seorang penganut teori inkremental tidak membentuk kesimpulan, dan karena itu, tidak membuat perkiraan tentang perilaku mendatang. Seorang penganut teori inkremental
beranggapan bahwa ciri khas pribadi tertentu berbeda di antara manusia maupun di dalam diri manusia. Teori inkremental tentang kejujuran; yaitu, ia beranggapan bahwa tingkat kejujuran yang diperagakan dalam tindakan-tindakan seseorang mudah disesuaikan, dibentuk dan bisa berubah. Penganut teori inkremental, mengamati perilaku sesorang, tidak akan membentuk suatu anggapan tentang kejujuran orang yang diamati dan tidak akan berusaha untuk memperkirakan bagaimana orang itu akan bertindak diwaktu mendatang.

McConnell (2001) mempelajari bagaimana orang-orang membentuk kesan sosial (suka atau tak suka) berdasarkan perilaku orang-orang yang diamati. Kesimpulan McConnell adalah bahwa penganut teori entitas membobot petunjuk yang mereka terima sebelumnya lebih berat daripada yang mereka terima kemudian, tetapi penganut teori inkremental tidak demikian. Karena itu, penganut teori entitas membentuk kesan sosial berdasarkan pengamatan sebelumnya.

Gervey, Chiu, Hong, dan Dweck (1999) menyelidiki dampak ciri terkait-watak terhadap pengambilan keputusan sebagai suatu fungsi teori integritas ketika menentukan salah atau tidak-salah-nya seseorang tersangka pembunuh. penganut teori entitas kelihatan lebih banyak memakai petunjuk tentang keterhormatan terdakwa dalam menentukan bersalah atau tidaknya. Ketika keterhormatan rendah (atau tinggi), maka persentase lebih tinggi (atau lebih rendah) para penganut teori entitas menyimpulkan salah daripada ketika keterhormatan tinggi (atau rendah); penganut teori inkremental kemungkinan sama-sama menyimpulkan salah, tanpa peduli bagaimanapun keterhormatan-nya.

Integritas dan Resiko Audit
Perencanaan audit dirancang untuk menjadi panduan guna mencerna adanya kemungkinan resiko audit (Cushing et.al., 1995). Arens dan Loebbecke (1997) menyatakan bahwa ada perbedaan pendapat tentang apakah auditor harus, atau tidak seharusnya, menyesuaikan risiko audit yang dapat diterima untuk perbedaan dalam risiko audit. Disebutkan bahwa beberapa auditor percaya bahwa risiko audit yang dapat diterima harus lebih rendah untuk klien yang tingkat resiko bisnis yang tinggi, sementara yang lainnya tidak.

Richard, Peters dan J. Pratt (1999) berpendapat bahwa perbedaan sifat, keadaan yang mendasari timbulnya risiko audit akan menyebabkan respon yang berbeda oleh auditor. Dalam beberapa kasus, auditor akan menyesuaikan rencana audit dengan keadaan yang mendasarinya dan ini menggambarkan perilaku auditor. Sebaliknya Benardhi (2009), menyatakan rendahnya integritas klien tidak selalu menimbulkan penipuan, tetapi auditor harus menggunakan program minimum atau menerapkan prosedur audit yang lebih ketat.

Nieschwietz, Schultz, & Zimbelman (2000) memberikan suatu tinjauan-ulang tentang perkiraan auditor, dibantu & tanpa dibantu mesin, tentang risiko penipuan, dan bagaimana pengendusan penipuan mempengaruhi rencana audit dan mengesankan bahwa perusahaan-perusahaan audit sebaiknya mempertimbangkan suatu pendekatan pemakaian model untuk memperkirakan penipuan. Nieschwietz, Schultz, & Zimbelman (200), menyatakan bahwa kerumitan tugas perkiraan risiko, karena “manusia mempunyai kesulitan mencapai ketepatan tinggi ketika mengambil keputusan rumit” (Nieschwietz, Schultz, & Zimbelman 2000, 238).

Zimbelman (1997), seharusnya auditor memperkirakan risiko penipuan manajemen secara terpisah dan bagaimana pengaruhnya terhadap perhatian para auditor pada faktor-faktor risiko, waktu audit yang direncanakan, dan tipe-tipe test audit yang direncanakan. Dengan memakai piranti lunak, telah melakukan deteksi: (1) melakukan perkiraan menyeluruh tentang risiko; (2) melakukan perkiraan terpisah tentang risiko kesalahan, kemudian risiko penipuan; atau (3) melakukan perkiraan terpisah tentang risiko penipuan, kemudian risiko kesalahan. Zimbleman (1997) menemukan bahwa para auditor yang harus melakukan perkiraan risiko penipuan dan risiko kesalahan menghabiskan lebih banyak waktu membaca faktor-faktor (petunjuk) risiko penipuan dan menganggarkan lebih banyak jam untuk kasus risiko tinggi maupun risiko rendah (yaitu, tidak ada selisih jam antara kasus risiko tinggi dengan risiko rendah). Juga, tidak ada efek ditemukan tentang tipe test audit yang direncanakan.

Glover, Prawitt, Schultz, dan Zimbleman (2003), mengulangi yang dilakukan Zimbleman (1997), menemukan bahwa para auditor dengan kasus risiko tinggi kemungkinan besar akan menambah luasnya tes audit daripada yang dengan kasus risiko rendah. Lagi, tidak ada bukti bahwa para auditor mengubah tipe pengujian-pengujian yang direncanakan dan memperlihatkan bahwa kebutuhan yang meningkat dan perhatian auditor telah membawa kepada suatu perubahan dalam bagaimana audit direncanakan.

Apostolou, Hassell, Webber, dan Sumners (2001), melakukan suatu studi yang memeriksa aturan keputusan atau pembobotan petunjuk yang dipakai oleh para auditor untuk mengevaluasi apakah faktor-faktor risiko yang disajikan menunjukkan motif, kesempatan, dan/atau rasionalisasi, hasilnya ciri khas manajemen, 58,2%. Bedard dan Graham (2002) menyelidiki apakah orientasi (positif atau negatif) bantuan keputusan yang dipakai selama suatu audit mempunyai suatu efek terhadap bagaimana para auditor memperkirakan risiko dan merencanakan audit. Dengan menggunakan analisis regresi, Bedard & Graham (2002) menemukan bahwa ketika memakai suatu bantuan keputusan negatif, para auditor mengidentifikasi lebih banyak faktor risiko dan bahwa perencanaan test substantif lebih terikat langsung dengan risiko yang teridentifikasi.

Church, McMillan, & Schneider (1998) meneliti efek risiko mendasar (inherent risk), risiko kontrol (control risk), dan kerangka keputusan (struktur tugas auditing) atas bagaimana seseorang auditor intern mempertimbangkan penipuan. Dengan menggunakan tiga indikator: (1) risiko mendasar tinggi atau rendah; (2) risiko kontrol tinggi atau rendah; dan (3) setelah suatu uraian tentang suatu kenaikan tidak terduga pada tagihan (receivables), Setelah membaca kasus tersebut, disajikan tiga tingkatan risiko: (1) penipuan, (2) kesalahan, (3) lingkungan. Analisis tentang tanggapan menunjukkan bahwa apakah seorang auditor intern memilih untuk mengikuti penjelasan menipu dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat-tingkat risiko mendasar dan risiko kontrol, tetapi bukan oleh kerangka keputusan.

Church, McMillan, & Schneider (2001a, 2001b) melakukan percobaan untuk menentukan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pertimbangan auditor intern terhadap pelaporan keuangan menipu. Church, McMillan, & Schneider menemukan bahwa para auditor intern kelihatannya lebih menyimpulkan, penipuan ketika pendapatan tidak terduga positif; efek ini lebih tegas ketika akad hutang bersifat membatasi. Tidak ditemukan adanya kaitan tentang bonus berbasis-pendapatan. Church, McMillan, & Schneider (2001) juga menyelidiki kaitan antara kesimpulan penipuan dengan pengalaman (masa tugas, sebagai auditor intern maupun sebagai auditor ekstern), tetapi tak ditemukan adanya kaitan motif dan kesempatan. Namun demikian, studi-studi ini tidak menyelidiki efek intgritas (kejujuran) klien terhadap kemungkinan untuk menyimpulkan penipuan.

Beaulieu (2001) menyelidiki efek integritas manajemen terhadap keempat variabel: (1) perkiraan risiko usaha, (2) perkiraan risiko gabungan; (3) sejauh mana bukti audit yang diajukan, dan (4) bayaran audit yang diajukan. Variabel tanggapan diukur pada suatu skala 11 angka di mana 10 (atau 0) menunjukkan bahwa variabel akan jauh lebih tinggi (atau lebih rendah) daripada yang dari perusahaan rata-rata di industri yang sama. Memakai analisis jalur (path analysis), Beaulieu (2001) menyimpulkan bahwa integritas berhubungan terbalik dengan risiko usaha dan risiko gabungan secara langsung, dan berhubungan terbalik tidak langsung (melalui risiko) dengan pengajuan bukti audit dan bayaran audit.

Studi Tentang Integritas dan Resiko Audit
Studi yang dilakukan oleh Ulfert Gronewold (2006) tentang Nilai Keabsahan Bukti Audit, Auditor menggunakan bukti audit untuk menarik kesimpulan tentang realitas yang relevan, yang tidak dapat diamati lagi yang memepengaruhi resiko audit. Semua penulis mempertimbangkan keandalan sumber bukti yang mengacu pada integritas, independensi dan motivasi dari sumber, sementara yang lain berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, atau kemampuan sebagai dimensi kedua sumber reliability.

Kualifikasi dan kompetensi (pengalaman, pengetahuan) auditor adalah penting, karena memberikan auditor untuk menarik kesimpulan atas status kebenaran bukti. Mautz dan Sharaf (1961) menggambarkan kebutuhan skeptisisme profesional dalam evaluasi bukti. Flint (1988) menunjukkan pentingnya kerangka pertanyaan yang tepat oleh auditor untuk menghindari kesalah pahaman penafsiran.




Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...

Subscribe in a reader

Comments :

0 comments to “Integrity Theory, Probative Value dan Audit Risk”
Views All / Send Comment!

Post a Comment