Inflasi dan Pengangguran Inflasi dan Pengangguran | EUREKA
<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Inflasi dan Pengangguran

Pembangunan ekonomi senantiasa menduduki peran yang sangat penting bagi negara-negara di seluruh dunia ini, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Terlebih lagi bagi negara-negara yang sedang berkembang (NSB), yang nota bene adalah negara-negara bekas jajahan. Namun demikian, dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi itulah, banyak masalah yang harus dihadapi oleh setiap negara. Masalah yang senantiasa harus dihadapi itu tidak lain adalah masalah ketidakstabilan ekonomi. Ketidakstabilan ekonomi biasanya diidentikkan dengan munculnya penyakit-penyakit ekonomi makro. Paling tidak ada tiga penyakit ekonomi makro utama yang senantiasa muncul dalam proses pembangunan ekonomi, yaitu: masalah inflasi, pengangguran dan ketimpangan neraca pembayaran (Boediono, 1999). Masalah pengangguran merupakan masalah yang secara nyata harus dihadapi oleh pemerintah, tetapi perhatian pemerintah tidak hanya focus pada penanggulangan masalah pengangguran. Dapat kita lihat kondisi pengangguran terbuka saat ini yang jumlahnya sudah mencapai 12 juta orang sementara jika dihitung bersama mereka yang setengah menganggur jumlahnya sudah mencapai 44 juta orang pada akhir tahun 2010.

Pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara sedang berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Masalah pengangguran juga dialami oleh negara-negara maju akan tetapi permasalahan pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya Busines Cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut.

Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perekonomian di Indonesia, banyak pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis sehingga begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di PHK oleh perusahaan karena perusahaan harus mengurangi besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang yang menjadi salah satu faktor terjadinya pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat (ledakan pengangguran). Ledakan pengangguran yang terjadi di indonesia berawal sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal dikarenakan terjadinya krisis moneter yang hebat melanda asia khususnya asia tenggara yang mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir november 1997 membuat sekitar 8.000 karyawannya menganggur.

Dan dalam waktu yang tidak lama 7.196 pekerja dari 10 perusahaan juga terkena PHK. Ditambah lagi diawal tahun 1998 1,4 juta pengangguran menambah daftar permasalahan yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah Indonesia (Andreas, 2001).
Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi tidak hanya terkait oleh masalah pengangguran saja tetapi masalah inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang harus dihadapi oleh semua negara didunia ini. Bahkan, peran bank sentral di berbagai negara di dunia ini sudah identik dengan bank sentral yang mengadopsi target inflasi baik secara implisit maupun eksplisit. Inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah karena inflasi merupakan penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Inflasi pada mulanya senantiasa diidentikkan dengan pencetakan uang yang terlalu banyak, yang menyebabkan bertambahnya pasokan jumlah uang beredar menjadi lebih banyak. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Oleh karena itu inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum. Definisi itu sebagai kebalikan dari kenaikan harga hanya satu atau dua komoditi saja (Humphreys, 1997).

Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan tingginya inflasi (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).
Inflasi yang tinggi penting untuk diperhatikan mengingat dampaknya bagi perekonomian yang bisa menimbulkan ketidakstabilan, pertumbuhan ekonomi yang lamban dan pengangguran yang senantiasa meningkat. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya untuk mengendalikan agar stabil begitu penting untuk dilakukan. Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah.

Kesalahan yang umumnya dilakukan adalah bahwa pengobatan hanya dilakukan pada symtom (gejala) saja, bukan secara causatic (sumber masalah). Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecenderungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dan sebagainya. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih mendalam dan serius (Chapra 2000).

Sebelum kita berbicara mengenai solusi yang harus dilakukan untuk dapat mengendalikan inflasi terlebih dahulu kita harus melihat kembali, mengapa pengendalian inflasi yang diberikan ekonomi konvensional senantiasa mengalami kebuntuan? Jawabnya tidak lain adalah, bahwa kebijakan ekonomi yang disandarkan pada teori ekonomi konvesional tidak pernah memberikan penyelesaian yang bersifat tuntas.

Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, setiap solusi yang diberikan akan bersifat saling menegaskan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Contohnya adalah, jika pemerintah ingin menurunkan tingkat inflasi dengan menggunakan kebijakan uang ketat (tight money policy), justru akan menimbulkan dampak meningkatnya angka pengangguran.

Demikian sebaliknya, jika ingin menekan tingkat pengangguran, akan mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan seterusnya. Pemerintah harus memahami betul berapa sasaran inflasi dan bagaimana cara mencapainya? Ini bukan masalah yang mudah, bukan karena orang tidak suka harga-harga naik tapi juga karena sasaran inflasi adalah kunci penentu seberapa giat ekonomi menciptakan lapangan kerja. Dalam jangka pendek ada trade-off antara inflasi dan pengangguran, penurunan inflasi menuntut pengorbanan bertahun-tahun yang mengakibatkan angka pengangguran tinggi. Angka pengangguran yang tinggi sangat berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai tindak kriminal, gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Fenomena tersebut dilukiskan oleh seorang Profesor dari Canberra yang bernama A.J. Phillips, yang kemudian dikenal dengan kurva Phillips (Humphreys, 1997).

Namun demikian, logika kurva Phillips di atas semakin jauh dari faktanya ketika ekonomi dunia memasuki pasca tahun 70-an. Saat itu ekonomi dunia dilanda resesi hebat. Segenap kebijakan ekonomi telah dikerahkan, tetapi tidak banyak membantu mengatasi bencana ekonomi tersebut. Kebijakan yang dilakukan pemerintah sering mendorong inflasi dan angka pengangguran kearah yang berlawanan.

Dalam jangka pendek harga-harga biasanya lamban berubah. Gaji pegawai misalnya, naik hanya sekali setahun, pedagang pun tidak bisa setiap saat mengubah harga barang dagangannya. Kalau misalnya, BI menyedot pasokan uang untuk menurunkan inflasi, uang yang tersedia untuk jual beli menjadi berkurang. Kalau harga-harga menjadi turun, tidak ada masalah tetapi kalau harga dan gaji pegawai tidak berubah dan tidak cukup banyak uang yang tersedia untuk jual beli seperti biasanya maka akan menyebabkan terjadinya pengangguran yang lebih besar.

Sementara itu, gerakan ekspansif untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan telah menyebabkan terjadinya laju inflasi yang sangat tinggi. Kurva Phillips semakin menjauh dari titik originnya. Fenomena itu kemudian dikenal dengan istilah stagflasi ekonomi. Suatu penyakit ekonomi baru yang lebih menakutkan (Deliarnov, 1997; Humphreys, 1997). Ketidakberdayaan kebijakan ekonomi konvensional tersebut akhirnya menjadi semakin nyata ketika krisis moneter mendera kawasan Asia. Hampir seluruh kebijakan ekonomi menjadi lumpuh seketika.




Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...

Subscribe in a reader

Comments :

0 comments to “Inflasi dan Pengangguran”
Views All / Send Comment!

Post a Comment